Sabtu, 27 Februari 2016

Interaksi Laki-laki dan Perempuan

Mengingat kisah Nabi Musa a.s. dan dua perempuan putri Nabi Syuaib a.s. membuat saya merasa malu terhadap diri saya sendiri. Salah satu kisah yang Allah firmankan dalam surat Al Qasash, saat Musa melarikan diri dari Mesir setelah tanpa sengaja membunuh seseorang dengan meninjunya, hingga akhirnya Musa tiba di Sungai Madyan. Nabi Musa menuju ke arah sungai Madyan dan dia menemukan sekumpulan orang sedang memberi minum domba-domba mereka disana.

(1) Disamping para penggembala, di puncak bukit Musa melihat dua wanita yang sedang menarik domba-domba mereka karena domba-domba itu bergerak mendekati sungai. Musa melihat dari jauh dengan keheranan karena kedua wanita itu tampak kesulitan dengan domba-domba mereka, sedangkan orang lainnya dengan nyaman memberi minum domba-domba mereka di sungai. Musa menghampiri kedua perempuan itu dan berkata “Ada yang bisa kubantu? Apa yang terjadi?”
Musa berbicara dengan singkat dan tidak berlebihan. Disini kita mendapati pelajaran berharga tentang seorang pria yang memiliki hayaa (kesantunan), pria seharusnya menjaga lisan dan pandangannya, sehingga terjaga hatinya. Ketika ada orang lain sedang dalam masalah, tidak ada salahnya kita menolong dan berkata, “Ada yang bisa kubantu?” Akan tetapi kita harus memperhatikan diri dengan tidak berbicara melampaui batas.

(2) Dan kedua perempuan itu menjawab, “Kami tidak bisa memberi makan domba kami sampai domba-domba milik orang lain selesai” Ada banyak pria di sungai itu yang tampak tidak cukup baik hati sehingga mereka hanya memberi makan ternak mereka dan tidak memberi tempat untuk kedua perempuan tersebut. Kedua perempuan ini merasa keberatan untuk bercampur baur atau berdesak-desakan dengan para penggembala yang umumnya adalah laki-laki. sehingga keduanya harus bersabar menunggu sampai para penggembala lain selesai meskipun harus menunggu sampai sore untuk bisa memberi minum domba-domba mereka. Salah satu hal yang bisa kita tarik dari hal ini, yaitu kesabaran. Kesabaran untuk menahan diri. Kesabaran itulah yang membedakan seseorang dengan yang lainnya di mata Allah. Kesabaran adalah kunci terjaganya kemuliaan perempuan. Kesabaran itulah yang menjadi pintu jihadnya perempuan.

Kisah ini juga dapat menjadi contoh yang sangat bagus dalam Al Qur’an tentang wanita dan dunia kerja. Kedua putri Nabi Syuaib menjelaskan, “Ayah kami sudah tua.” Dan karena sang ayah sudah tua maka dipahami bahwa ia tidak dapat lagi bekerja. Sang ayah tidak bisa mengurusi ternak, mengurusi rumah dan hal-hal lainnya, dan dia hanya mempunyai dua putri sehingga mereka berdualah yang bekerja. Hal ini terjadi pada banyak orang karena situasi ekonomi maupun situasi keluarga, baik karena perceraian, meninggalnya suami, ataupun karena hanya ada seorang wanita di rumah yang mengurus keluarga dan orang tua yang sudah renta, sehingga mengharuskan mereka para wanita untuk bekerja. Ini bukan sesuatu yang dilarang dalam Islam. Al Qur’an sendiri membicarakannya, hanya saja ada etikanya.

Prinsip-prinsip hayaa (kesantunan) itulah yang dipegang oleh Nabi Musa dan kedua putri Nabi Syu’aib. Banyak diantara kita yang mungkin berada di tempat kerja, dan mendapati situasi yang akan melanggar standar prinsip kita. standar hayaa, standar kesantunan dan standar rasa malu, akan tetapi selama kita masih berpegang teguh pada prinsip tersebut, kita masih bisa menyelesaikannya.

Allah berfirman bahwa Musa hanya memberi mereka minum dan membawanya kembali, kemudian dia duduk. Sebuah catatan singkat tentang Musa a.s. saat berinteraksi dengan kedua wanita ini. Sebuah catatan yang benar-benar menunjukkan bahwa akan ada situasi yang sama yang akan selalu terjadi di masa mendatang, mungkin itu terjadi pada diri kita, saudari kita, putri kita, ibu kita yang mungkin harus bekerja dan menjadi catatan tentang bagaimana seharusnya bersikap.

(3) Ayat selanjutnya, “Salah satu dari mereka kembali lagi berjalan dengan malu-malu”
Saat salah seorang dari kedua perempuan tersebut hendak menemui Nabi Musa untuk menyampaikan pesan dari ayahandanya, ia berjalan dengan malu-malu. Allah memberitahu rasa malu ketika gadis itu berjalan menuju Musa a.s. “Ayahku memanggilmu. Dia ingin membalas jasamu atas kebaikan yang kau berikan pada kami.”

Ayat ini memberitahukan tentang sebuah teladan kepada kita, ada sisi dimana seorang perempuan harus memiliki ketegasan dan rasa percaya diri, serta dapat dipercaya untuk berhubungan dengan dunia luar, di sisi lain, kualitas dari rasa malu mereka yang disebutkan ketika mereka berinteraksi dengan pria non-mahram. Itulah cara berjalan dan berinteraksi seorang gadis muda yang suci, terhormat, menjaga diri dan bersih tatkala bertemu dengan laki-laki. Ia tidak bertingkah macam-macam, tidak pula bersolek ataupun berjalan berlenggak-lenggok.

(4) Selanjutnya perempuan tersebut menghampiri nabi Musa untuk menyampaikan undangan dengan kata-kata yang singkat, pendek, dan lugas. "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami"
Ia sampaikan itu dengan rasa malu, jelas, gamblang, dan detail, tanpa gagap, bingung dan ruwet. Itulah tanda kecerdasan alami yang bersih, sehat dan lurus. Seorang gadis baik-baik dengan tututan fitrahnya tentu akan merasa malu jika bertemu dan berbicara dengan laki-laki. Dengan kepercayaan diri yang penuh akan kesucian dan kelurusannya, putri Nabi Syuaib mampu berbicara dengan jelas, sesuai kebutuhan dan tidak lebih.

(5) Putri Nabi Syuaib meminta kepada ayahnya untuk mengambil nabi Musa agar bekerja kepadanya.  "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya."
Kedua putri Nabi Syuaib ini merasa keberatan dan tersiksa untuk menggembala kambing, berdesak-desakan dengan kaum pria dan berinteraksi dengan mereka laiknya orang yang melakukan pekerjaan laki-laki, sehingga putri Nabi Syuaib meminta kepada ayahnya untuk mempekerjakan seorang laki-laki.
Selain itu, pada ayat ini juga tersirat sebuah “kode” yang disampaikan dengan sangat elegan dan terhormat, dengan bahasa yang halus dan dapat dipahami. Perempuan tersebut dapat menilai Nabi Musa sebagai orang yang kuat dan dapat dipercaya, dapat dipercaya juga dapat dimaksudkan bahwa Nabi Musa dinilai mampu menjaga pandangan dan lisannya. Penilaian yang muncul dari firasat seorang yang berilmu. Ilmu sangatlah penting untuk mengasah kepekaan, yang dengannya akan membimbing orang-orang yang beriman. Maka di ayat selanjutnya Nabi Syu’aib berkata kepada Musa bahwa ia bermaksud menikahkan Musa dengan salah seorang dari kedua putrinya itu.


Inilah suri tauladhan yang agung dari Al Quran, surat Al Qashash [28] : 23-26, yang mengajarkan kita bagaimana bersikap dan apa arti keberadaan perempuan di tengah-tengah kaum laki-laki. Kisah yang sangat indah untuk kita dapat menggarisbawahi beberapa prinsip moral dan etika yang sangat berharga tentang bagaimana interaksi antara pria dan wanita. Semoga Allah menuntun  untuk selalu menjaga prinsip kita dimana pun kita berada.

Jumat, 19 Februari 2016

Ketika Sains dan Agama Dipisahkan

Bismillah..
Dalam suatu sesi kuliah Psikologi Pendidikan pada program pasca sarjana di sebuh perguruan tinggi Islam, seorang professor berkata, “Ini adalah kuliah ilmiah. Oleh karena itu, kita tidak akan mengait-ngaitkan materi kuliah ini dengan agama, baik itu dari al-Qur’an maupun dari hadits.”
Pernyataan sang professor jelas tidak layak dikeluarkan oleh seorang professor yang mengaku dirinya muslim, terlebih ia mengajar di perguruan tinggi Islam. Ia juga pasti mengetahui bahwa al-Qur’an dan Hadits adalah pedoman utama kehidupan seorang Muslim. Bagaimana mungkin keduanya dipisahkan dari kegiatan menuntut ilmu?[1]
Menurut Osman Bakar, Islam bukanlah agama yang hanya mengatur perihal ibadah saja, melainkan juga jalan hidup yang lengkap dan sempurna, melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, tidak ada satu hal pun dalam kehidupan manusia yang tidak diatur dalam Islam. Kecenderungan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan umum bukan suatu hal yang aneh dalam dunia pendidikan saat ini. Hal ini disebabkan karena lemahnya konsep pendidikan yang ada di Indonesia. Konsep pendidikan yang masih memisahkan agama dan sains. Pemisahan ilmu sains dengan agama disebut oleh Syed M. Naquib al-Attas sebagai sekularisasi.
Banyaknya buku-buku teks pelajaran di luar bidang studi Islam umumnya mengabaikan ajaran Islam. Sebagai contoh, konsep bunga atau riba masih saja mewarnai bidang ekonomi tanpa ada upaya menjelaskan kedudukan riba/bunga dalam pandangan Islam. Pelajaran sains nyaris tidak pernah menyebutkan Tuhan dalam menggambarkan proses alam. Obat-obatan halal tidak menjadi isu penting dalam studi kedokteran dan farmasi.
Program pemerintah kurikulum 2013 sangat menekankan kompetensi inti pada penghayatan dan pengamalan ajaran agama para murid serta mengedepankan pendidikan karakter memberikan alasan yang lebih kuat perlunya pendidikan sains berbasis nilai keimanan. Suatu langkah positif terhadap niat pemerintah dalam menyusun kurikulum 2013, karena menempatkan agama sebagai hal yang penting dalam dunia pendidikan nasional. Namun pada buku ajar dari Kurikulum 2013 yang digunakan di berbagai sekolah masih didominasi pengajaran paham sekularisme, yang secara terang-terangan membuang ajaran Islam dan mempromosikan paham-paham materialisme, positivisme, relativisme, dan pluralisme. 
Dalam buku berjudul “Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas X”, berdasarkan Kurikulum 2013 tentang Asal-usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia, disebutkan bahwa karakter yang dikembangkan dalam pembahasan ini adalah: “Mensyukuri kebesaran Pencipta dan bertakwa kepada-Nya. Mempelajari secara ilmiah terjadinya alam semesta mengarahkan siswa untuk sadar bahwa di balik segala peristiwa sejarah, Tuhan memiliki maksud dan tujuan yang mulia untuk kita, dan karena itu mendorong kita untuk berserah hanya kepada-Nya.”
Niat dan karakter yang dituju sangatlah baik, tetapi, sangat mengherankan justru dalam pembahasan tentang sejarah manusia Indonesia tersebut, sama sekali tidak terdapat rujukan wahyu Allah. Semua pembahasan hanya berlandaskan empirisisme dan rasionalisme, seolah ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang penciptaan alam semesta dan sejarah penciptaan manusia dan juga asal-usul manusia tidak dianggap sebagai sumber ilmu, sehingga tidak dimasukkan ke dalam kategori “ilmiah”.[2] Cara berpikir semacam ini juga merupakan dogma yang diyakini oleh ilmuwan sekular. Hal itu merupakan kesalahan epistemologis, yang memisahkan panca indera dan akal sebagai sumber ilmu, dengan khabar shadiq (true report) wahyu Allah sebagai sumber ilmu. Padahal, dalam konsep keilmuan Islam, ketiga sumber ilmu itu diakui dan diletakkan pada tempatnya secara harmonis.
Selama ini para pelajar banyak dijejali berbagai ilmu tetapi tidak diajarkan tentang makna dan kedudukan ilmu di dalam Islam, prinsip apa yang harus dipegang, adab dalam menuntut ilmu dan lain sebagainya. Dahulu yang dicontohkan oleh para ulama, belajar sains juga untuk semakin dekat kepada Allah. Sehingga jika sains berkembang, keimanan pun semakin mendalam. Bahkan sebagian ulama menyamakan pentingnya memahami dan merenungkan alam dengan Al-Qur’an. Dapat dilihat dari penggunaan istilah yang sama untuk menyebut kandungan Al-Qur’an sebagai ayat qauliyyah, sementara alam sebagai ayat kauniyyah. Keduanya adalah ayat-ayat Allah. Jadi tidak dapat dipisahkan antara alam dan Al-Qur’an. Ulama dahulu sering mengatakan hikmah dari fenomena alam. Allah menciptakan langit berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat. Kemudian Allah tanyakan, apakah ada sesuatu yang cacat atau retak di langit tersebut?  Jawabannya tentu saja tidak. Kemudian Allah memerintah melihatnya berulang lagi (bahkan berulang kali), apakah ada yang cacat di langit itu? Hasilnya, jika dilihat berulang kali tidak ada cacat sama sekali pada ciptaan Allah tersebut. Namun yang didapat adalah rasa payah karena berulangkalinya menelusuri langit itu.
Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa jika sama sekali di langit tersebut tidak ada cacat, maka ini menunjukkan sempurnanya hasil ciptaan Allah. Ciptaan Allah tersebut begitu seimbang dilihat dari berbagai sisi, yaitu dari warna, hakikatnya, dan ketinggiannya. Begitu pula pada ciptaan Allah lainnya seperti matahari, rembulan dan bintang yang bersinar. Sudah sepantasnya menimbulkan pengakuan kita atas kebesaran Allah.
Bila dihubungkan dengan pendidikan, masalah sains yang paling mengkhawatirkan adalah sekularisasi, yaitu ketika agama dicabut dari sains. Ini kesalahan yang besar karena dapat menjadikan seseorang yang berwajah dua. Satu sisi, seseorang jadi yakin ketika belajar sains tentang hukum kekekalan energi ketika belajar sains yang mengatakan energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi hanya dapat berubah dari bentuk energi satu ke bentuk energi lain. Padahal hukum itu memiliki dua pengertian yang bertentangan dengan Islam. Pertama, energi bukan zat ciptaan, artinya energi itu ada sendirinya dan menyangkal adanya Allah, Maha Pencipta. Kedua, energi tidak dapat dimusnahkan, artinya energi akan selalu kekal. Sisi lain ia yakin juga ketika belajar agama tentang langit dan bumi beserta seluruh isinya yang merupakan ciptaan Allah. Selain itu, seluruh alam bersifat fana dan akan musnah sesuai kehendak penciptanya. Ini berarti energi adalah salah satu ciptaan Allah yang suatu saat akan musnah juga.
Indonesia sebagai negara yang didirikan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa sepatutnya menjadikan nilai-nilai agama sebagai dasar dalam seluruh bidang kehidupan rakyat Indonesia termasuk dalam pendidikan di Indonesia.  Sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003 mengenai Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga disebutkan tentang tujuan Pendidikan Tinggi di Indonesia, yaitu: (a). berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Sofyan Sauri menyebutkan bahwa tujuan ini menunjukkan bahwa nilai inti pembangunan karakter bangsa berorientasi mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa nilai keimanan menjadi tujuan utama pendidikan di Indonesia sehingga pendikan sains harus dilandasi oleh tujuan ini.
Betapa gencarnya pemikiran sekuler barat menyusup dalam pemikiran kita dan secara perlahan menggeser dan mengaburkan makna ilmu yang bukan saja berbeda tetapi juga bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Padahal sikap dan perilaku seseorang dibentuk dari ilmu yang dipahaminya. Tidak mengherankan, jika banyak orang yang beragama Islam, tetapi pemikiran, sikap dan perilakunya jauh dari Islam. Oleh Karena itu sangatlah penting mengenalkan dan menyebar luaskan pandangan Islam tentang ilmu termasuk di dalamnya ilmu sains kepada umat Islam, terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Semua ini bertujuan agar ilmu dapat mengantarkan kita ke jalan yang benar sehingga sampai pada kebahagiaan yang hakiki.
[1]Inilah! Wasiat Nabi bagi Para Penuntut Ilmu, Dr. Wendi Zarman. hal.14, RuangKata, cetakan pertama, 2012
[2] Infiltrasi Sekularisme dalam Kurikulum 2013,  http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2014/06/09/22971/infiltrasi-sekularisme-dalam-kurikulum-2013.html

Oleh : Kharisma Nugrahandani Restuti

Referensi:
Inilah! Wasiat Nabi bagi Para Penuntut Ilmu, Dr. Wendi Zarman. hal.14-15, RuangKata, cetakan pertama, 2012
Taisir Al Karimir Rohman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 875, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.