Mengingat kisah Nabi Musa a.s. dan dua perempuan putri Nabi
Syuaib a.s. membuat saya merasa malu terhadap diri saya sendiri. Salah satu kisah yang Allah firmankan dalam surat Al Qasash, saat Musa melarikan diri dari
Mesir setelah tanpa sengaja membunuh seseorang dengan meninjunya, hingga
akhirnya Musa tiba di Sungai Madyan. Nabi Musa menuju ke arah sungai Madyan dan
dia menemukan sekumpulan orang sedang memberi minum domba-domba mereka disana.
(1) Disamping para
penggembala, di puncak bukit Musa melihat dua wanita yang sedang menarik
domba-domba mereka karena domba-domba itu bergerak mendekati sungai. Musa
melihat dari jauh dengan keheranan karena kedua wanita itu tampak kesulitan
dengan domba-domba mereka, sedangkan orang lainnya dengan nyaman memberi minum domba-domba
mereka di sungai. Musa menghampiri kedua perempuan itu dan berkata “Ada yang
bisa kubantu? Apa yang terjadi?”
Musa berbicara dengan
singkat dan tidak berlebihan. Disini kita mendapati pelajaran berharga tentang seorang
pria yang memiliki hayaa (kesantunan), pria seharusnya menjaga lisan dan pandangannya,
sehingga terjaga hatinya. Ketika ada orang lain sedang dalam masalah, tidak ada
salahnya kita menolong dan berkata, “Ada yang bisa kubantu?” Akan tetapi kita
harus memperhatikan diri dengan tidak berbicara melampaui batas.
(2) Dan kedua perempuan
itu menjawab, “Kami tidak bisa memberi makan domba kami sampai domba-domba
milik orang lain selesai” Ada banyak pria di sungai itu yang tampak tidak cukup
baik hati sehingga mereka hanya memberi makan ternak mereka dan tidak memberi tempat
untuk kedua perempuan tersebut. Kedua perempuan ini
merasa keberatan untuk bercampur baur atau berdesak-desakan dengan para
penggembala yang umumnya adalah laki-laki. sehingga
keduanya harus bersabar menunggu sampai para penggembala lain selesai meskipun harus
menunggu sampai sore untuk bisa memberi minum domba-domba mereka. Salah satu
hal yang bisa kita tarik dari hal ini, yaitu kesabaran. Kesabaran untuk menahan
diri. Kesabaran itulah yang membedakan seseorang dengan yang lainnya di mata
Allah. Kesabaran adalah kunci terjaganya kemuliaan perempuan. Kesabaran itulah
yang menjadi pintu jihadnya perempuan.
Kisah ini juga dapat
menjadi contoh yang sangat bagus dalam Al Qur’an tentang wanita dan dunia
kerja. Kedua putri Nabi Syuaib menjelaskan, “Ayah kami sudah tua.” Dan karena
sang ayah sudah tua maka dipahami bahwa ia tidak dapat lagi bekerja. Sang ayah
tidak bisa mengurusi ternak, mengurusi rumah dan hal-hal lainnya, dan dia hanya
mempunyai dua putri sehingga mereka berdualah yang bekerja. Hal ini terjadi
pada banyak orang karena situasi ekonomi maupun situasi keluarga, baik karena
perceraian, meninggalnya suami, ataupun karena hanya ada seorang wanita di
rumah yang mengurus keluarga dan orang tua yang sudah renta, sehingga mengharuskan
mereka para wanita untuk bekerja. Ini bukan sesuatu yang dilarang dalam Islam. Al
Qur’an sendiri membicarakannya, hanya saja ada etikanya.
Prinsip-prinsip hayaa
(kesantunan) itulah yang dipegang oleh Nabi Musa dan kedua putri Nabi Syu’aib. Banyak
diantara kita yang mungkin berada di tempat kerja, dan mendapati situasi yang
akan melanggar standar prinsip kita. standar hayaa, standar kesantunan dan standar
rasa malu, akan tetapi selama kita masih berpegang teguh pada prinsip tersebut,
kita masih bisa menyelesaikannya.
Allah berfirman bahwa
Musa hanya memberi mereka minum dan membawanya kembali, kemudian dia duduk. Sebuah
catatan singkat tentang Musa a.s. saat berinteraksi dengan kedua wanita ini.
Sebuah catatan yang benar-benar menunjukkan bahwa akan ada situasi yang sama
yang akan selalu terjadi di masa mendatang, mungkin itu terjadi pada diri kita,
saudari kita, putri kita, ibu kita yang mungkin harus bekerja dan menjadi
catatan tentang bagaimana seharusnya bersikap.
(3) Ayat selanjutnya,
“Salah satu dari mereka kembali lagi berjalan dengan malu-malu”
Saat salah seorang dari kedua perempuan tersebut hendak menemui
Nabi Musa untuk menyampaikan pesan dari ayahandanya, ia berjalan dengan
malu-malu. Allah memberitahu rasa malu ketika gadis itu berjalan menuju Musa a.s.
“Ayahku memanggilmu. Dia ingin membalas jasamu atas kebaikan yang kau berikan
pada kami.”
Ayat ini
memberitahukan tentang sebuah teladan kepada kita, ada sisi dimana seorang
perempuan harus memiliki ketegasan dan rasa percaya diri, serta dapat dipercaya
untuk berhubungan dengan dunia luar, di sisi lain, kualitas dari rasa malu
mereka yang disebutkan ketika mereka berinteraksi dengan pria non-mahram. Itulah cara berjalan dan berinteraksi seorang gadis muda yang suci, terhormat, menjaga diri
dan bersih tatkala bertemu dengan laki-laki. Ia tidak bertingkah macam-macam, tidak pula bersolek
ataupun berjalan berlenggak-lenggok.
(4) Selanjutnya perempuan tersebut menghampiri nabi
Musa untuk menyampaikan undangan dengan kata-kata yang singkat, pendek, dan
lugas. "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan
terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami"
Ia sampaikan itu dengan rasa malu, jelas, gamblang, dan detail, tanpa gagap, bingung dan ruwet. Itulah tanda kecerdasan alami yang bersih, sehat dan lurus. Seorang gadis baik-baik dengan tututan fitrahnya tentu akan merasa malu jika bertemu dan berbicara dengan laki-laki. Dengan kepercayaan diri yang penuh akan kesucian dan kelurusannya, putri Nabi Syuaib mampu berbicara dengan jelas, sesuai kebutuhan dan tidak lebih.
Ia sampaikan itu dengan rasa malu, jelas, gamblang, dan detail, tanpa gagap, bingung dan ruwet. Itulah tanda kecerdasan alami yang bersih, sehat dan lurus. Seorang gadis baik-baik dengan tututan fitrahnya tentu akan merasa malu jika bertemu dan berbicara dengan laki-laki. Dengan kepercayaan diri yang penuh akan kesucian dan kelurusannya, putri Nabi Syuaib mampu berbicara dengan jelas, sesuai kebutuhan dan tidak lebih.
(5) Putri
Nabi Syuaib meminta kepada ayahnya untuk mengambil nabi Musa agar bekerja
kepadanya. "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya."
Kedua putri Nabi Syuaib ini merasa keberatan dan
tersiksa untuk menggembala kambing, berdesak-desakan dengan kaum pria dan
berinteraksi dengan mereka laiknya orang yang melakukan pekerjaan laki-laki,
sehingga putri Nabi Syuaib meminta kepada ayahnya untuk mempekerjakan seorang
laki-laki.
Selain itu, pada ayat ini juga tersirat
sebuah “kode” yang disampaikan dengan sangat elegan dan terhormat, dengan
bahasa yang halus dan dapat dipahami. Perempuan tersebut dapat menilai Nabi
Musa sebagai orang yang kuat dan dapat dipercaya, dapat dipercaya juga dapat
dimaksudkan bahwa Nabi Musa dinilai mampu menjaga pandangan dan lisannya.
Penilaian yang muncul dari firasat seorang yang berilmu. Ilmu sangatlah penting
untuk mengasah kepekaan, yang dengannya akan membimbing orang-orang yang
beriman. Maka di ayat selanjutnya Nabi Syu’aib berkata kepada Musa bahwa ia
bermaksud menikahkan Musa dengan salah seorang dari kedua putrinya itu.
Inilah suri tauladhan yang agung dari Al Quran, surat Al Qashash
[28] : 23-26, yang mengajarkan kita bagaimana bersikap dan apa arti keberadaan
perempuan di tengah-tengah kaum laki-laki. Kisah yang sangat indah untuk kita dapat menggarisbawahi
beberapa prinsip moral dan etika yang sangat berharga tentang bagaimana interaksi
antara pria dan wanita. Semoga Allah menuntun untuk selalu menjaga prinsip kita dimana pun
kita berada.