Mush’ab bin
Umair adalah satu di antara sahabat Nabi s.a.w Dia seorang remaja Quraisy yang
paling menonjol, paling tampan dan paling bersemangat.
Para penulis
sejarah biasa menyebutnya sebagai “Pemuda Mekah yang menjadi sanjungan semua orang.”
Dia lahir dan
dibesarkan dalam limpahan kenikmatan. Bisa jadi, tak seorangpun di antara anak
muda Mekah yang dimanjakan kedua orang tuanya seperti yang didapatkan Mush’ab
bin Umair.
Mungkinkah
kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, selalu
dielu-elukan, dan bintang di setiap rapat dan pertemuan, akan berubah menjadi
tokoh dalam sebuah cerita keimanan dan perjuangan demi membela Islam. . .?
Sungguh satu
kisah penuh pesona… Kisah perjalanan Mush’ab bin Umair atau kaum muslimin biasa
menyebutnya “Mush’ab Al-Khair(yang baik)”. . .
Dia adalah satu
diantara orang-orang yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad saw.
Seperti apakah
dia. . .?
Sungguh, kisah
hidupnya menjadi kebanggan seluruh umat manusia. Suatu hari, anak muda ini
mendengar berita tentang Muhammad yang selama ini dikenal jujur… Berita yang
juga mulai didengar oleh warga Mekah… Muhammad yang selama ini dikenal jujur itu
(Al-Amin) menyatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita
gembia dan pemberi peringatan. Mengajak umat manusia beribadah kepada Allah
Yang Maha Esa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Mush’ab. Dengan sedikit
strategi, dia berhasil mengecoh ibu dan para penjaganya. Ia berhasil lolos dari
kurungan, lalu ikut hijrah ke Habasyah.
Dia tinggal
disana bersama saudara-saudaranya sesame muhajirin. Lalu pulang ke Mekah.
Kemudian ia pergi lagi hijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya bersama para
sahabat atas titah Rasulullah saw.
Baik di
Habasyah maupun di Mekah, keimanan Mush’ab semakin mantap. Dia menapaki pola
hidup baru yang diajarkan oleh teladannya: Muhammad saw. Mush’ab sudah mantap
kala seluruh kehidupannya akan diberikan hanya untuk Sang Pencipta Yang Maha
Agung.
Pada suatu hari
ia menghampiri kaum muslimin yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah saw.
Melihat penampilan Mush’ab, mereka menundukkan pandangan, bahkan ada yang
menangis. Mereka melihat Mush’ab memakai jubbah using yang bertambal-tambal.
Padahal, masih segar dalam ingatan mereka bagaimana penampilannya sebelum masuk
Islam. Pakaiannya ibarat bunga di taman, menebar aroma wewangian.
Adapun
Rasulullah, beliau menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih
dan syukur dalam hati. Kedua bibirnya tersenyum bahagia dan bersabda,
“Dahulu, tiada
yang menandingi Mush’ab dalam mendapatkan kesenangan dari orang tuanya. Lalu
semua itu ia tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Semenjak ibunya
merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada berhala sesembahannya, dia
menghentikan segala pemberian yang biasa diberikan kepada Mush’ab. Bahkan, dia
tidak mengizinkan makanannya dimakan oleh orang yang telah mengingkari
berhala-berhala itu, meskipun orang itu adalah anak kandungnya sendiri.
Terakhir kali
bertemu Mush’ab adalah saat hendak mengurung lagi, sewaktu Mush’ab pulang dari
Habasyah. Mush’ab pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh
orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan. Mengetahui tekad
putranya yang begitu kuat, maka sang ibu membatalkan niatnya. Keduanya berpisah
dengan cucuran air mata.
Perpisahan itu
memperlihatkan kegigihan luar biasa dalam mempertahankan kekafiran, di pihak
sang ibu, dan kegigihan yang juga luar biasa dalam mempertahankan keimanan, di
pihak si anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah, “pergola sesuka hatimu.
Aku bukan ibumu lagi.” Mush’ab menghampiri ibunya dan berkata, “Wahai ibu, aku
sangat saying kepada Ibu. Karena itu, bersaksilah bahwa tiada Tuhan selain
Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Sang ibu
menjawab dengan marah, “Demi bitang-gemintang, aku tidak akan masuk ke dalam
agama itu. Otakku bisa rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lain.”
Mush’ab
meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang pernah dialaminya, dan memilih hidup
miskin seta kekurangan. Pemuda ganteng dan perlente itu, kini hanya mengenakan
pakaian yang sangat kasar, sehari makan dan beberapa hari rela menahan lapar.
Akan tetapi jiwanya yang telah dihiasi akidah suci dan cahaya ilahi, mengubah
dirinya menjadi seorang manusia yang lain. Manusia yang dihormati, penuh wibawa
dan disegani.
***
Sekarang
Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan tugas sangat penting: menjadi utusan
Rasulullah ke Madianh. Tugasnya adalah mengajarkan agam Islam kepada
orang-orang Anshar yang telah beriman dan berbai’at kepada Rasulullah di bukit
Aqabah. Juga untuk mengajak orang lain menganut agam Islam, dan mempersiapkan
kota Madinah untuk menyambut hijrah Rasulullah ke kota itu.
Sebenarnya, di
kalangan para sahabat saat itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh
dan lebih dekat hubungan kekeluargaanya dengan Rasulullah daripada Mush’ab.
Tetapi, Rasulullah memilih Mush’ab Al-Khair (Mush’ab yang baik). Rasulullah
sadar sepenuhnya bahwa belia telah memikulkan tugas sangat penting kepada
pemuda itu. Menyerahkan kepadanya masa depan kota Islam di Madinah. Kota yang
tak lama lagi akan menjadi kota hijrah, pusat dakwah, tempat berhimpunnya
penyebar dan pembela Islam.
Mush’ab memikul
amanah itu dengan bekal kecerdasan dan akhlak mulia yang dikaruniakan Allah
kepadanya. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan keikhlasan, dia berhasil memikat
hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.
Saat Mush’ab
memasuki Madinah, jumlah orang Islam hanya 12 orang. Yaitu, orang-orang yang
telah berbai’at di bukit Aqabah. Hanya dalam beberapa bulan, penduduk Madinah
sudah berbondong-bondong masuk Islam.
Pada musim haji
berikutnya, kaum muslimin Madinah mengirim rombongan yang mewakili mereka untuk
menemui Nabi. Mereka berjumlah 70 orang yang dipimpin oelh guru mereka, oleh
duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair.
Dengan
tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa
rasulullah saw. tidak salah memilih orang, Mush’ab benar-benar memahami
tugasnya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah
mengajak manusia untuk menyembah Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya
suatu agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, dan membimbing mereka
ke jalan yang lurus. Tugasnya seperti tugas Rasulullah: hanya menyampaikan.
Di Madinah,
Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zurarah. Dengan didampingi
As’ad, ia mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan
untuk membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Menyampaikan “bahwa hanya Allah Tuhan
yang berhak disembah” dengan sangat hati-hati.
Ia pernah
menghadapi peristiwa yang mengancam keselamatan diri dan rekannyaitu. Tapi,
dengan kecerdasan dan kebesaran jiwanya, ia berhasil mengatasinya dengan sangat
baik.
Suatu hari,
kerika sedang berdakwah di tengah orang-orang suku Abdul Asyhal, tiba-tiba
Usaid bin Hudair, sang kepala suku muncul dengan menghunus tombak. Usaid muncul
dengan kemarahan yang membuncah. Akan ada orang yang menyelewegkan penduduknya
dari keyakinan mereka. Mengajak mereka meninggalkan tuhan-tuhan yang tempatnya
jelas, bisa didatangi, dan bentuknya kelihatan. Sedangkan Tuhan yang baru itu
tidak bisa dilihat dan tidak bisa dijumpai.
Tak ayal lagi,
orang-orang Islam di tempat itu ketakutan. Akan tetapi, Mush’ab Al-Khair tetap
tenang dengan air muka yang tidak jelas berubah.
Seakan hendak
menerkam, Usaid mendekati Mush’ab dan As’ad bin Zurarah. Dengan kata kasar ia
berkata, “Apakah kamu hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tidak
ingin nyawa kalian melayang.”
Seperti tenang
dan mantapnya samudra, laksana damainya cahaya fajar, terpencarlah ketulusan
hati Mush’ab Al-Khair, dan bergeraklah bibirnya mengeluarkan kata-kata
menyejukkan, “Mengapa Anda tidak duduk dan mendengarkan terlebih dahulu? Jika
nanti Anda tertarik, Anda dapat menerimanya. Dan jika nanti Anda tidak suka,
kami akan menghentikan apa yang tidak Anda sukai.”
Allahu Akbar!!!
Sungguh awal yang baik, yang tentu berakhir dengan baik pula.
Usaid adalah
orang yang bijak. Dan saat ini, ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan
meminta pertimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Ia hanya diminta mendengar.
Jika ia suka dengan apa yang dikatakan Mush’ab, maka ia akan membiarkan Mush’ab
berdakwah. Jika ia tidak suka dengan ajaran Mush’ab, maka Mush’ab berjanji akan
meninggalkan kabilah dan masyarakatnya untuk mencari tempat dan masyarakat
lain. Tidak ada yang dirugikan bukan?!
“Baiklah,” kata
Usaid. Lalu duduk dan meletakkan tombaknya.
Mush’ab mulai
membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan menguraikan dakwah yang dibawa Muhammad saw.
Bacaan dan uraian Mush’ab mengalir ke telinga Usaid, memasuki dada dan
menerangi hati yang ada di dalamnya. Belum usai Mush’ab membaca dan memberikan
uraian, tiba-tiba bibir Usaid bergetar dan berkata, “Alangkah indah kata-kata
ini. Tidak ada satu kesalahan pun. Apa yang harus dilakukan orang yang mau
masuk agama ini?”
Serentak gema
tahlil keluar dari bibir kaum muslimin, “Lailaha illallah, Muhammadar
Rasulullah.” tahlil terus bergem seakan ingin mengguncang dunia.
Mush’ab
berkata, “Hendaklah ia membersihkan pakaian dan badannya, lalu mengucapkan Asyhadu
an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah.”
Usaid
meninggalkan mereka beberapa saat, kemudian kembali dan air masih menetes dari
rambutnya. Ia berdiri dan mengucapkan “Asyhadu an la ilaha illallah wa
asyhadu anna Muhammadar rasulullah.”
Berita ini
tersebar dengan sangat cepat, secepat cahaya.
Sa’ad bin Mu’adz
juga mendatangi Mush’ab. Setelah mendengar uraian Mush’ab, ia pun masuk Islam.
Setelah itu, Sa’ad
bin Ubadah juga masuk Islam.
Masuk Islamnya
tiga tokoh ini berarti membuka pintu lebar bagi masuk Islamnya para penduduk
Madinah. Mereka berkata, “Jika Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad
bin Ubadah sudah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu?! Mari kita menemui Mush’ab
dan menyatakan keislaman kita.” Kata orang, “Kebenaran itu terpancar dari
setiap kata-katanya.”
Demikianlah
duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada tara.
Suatu keberhasilan yang layak dieprolehnya..
Beberapa tahun kemudian,
Rasulullah bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah.
***
Di pihak lain,
orang-orang kafir Quraisy semakin geram. Mereka menyiapakan kekuatan untuk
melampiaskan dendam mereka terhadap kaum muslimin. Maka, terjadilah perang
Badar dan kaum kadir Quraisy pun mendapatkan pelajaran pahit yang membuat
mereka semakin kalap dan tidak waras. Mereka berusaha menebus kekalahan di
Perang Badar itu. Kemudian tibalah Perang Uhud. Rasulullah berdiri di tengah
barisan kaum muslimin, menatap setiap wajah: siapa yang sebaikanya membawa
bendera pasukan? Ketika itu, terpilihlah Mush’ab Al-Khair. Ia maju dan membawa
bendera pasukan dengan mantap.
Peperangan
berkobar dan berkecamuk dengan sengitnya. pasukan panah kaum muslimin melanggar
perintah Rasulullah. Mereka meninggalkan posisi mereka di atas bukit setelah
melihat pasukan musuh lari terbirit-birit. Perbuatan mereka itu secepatnya
mengubah suasana. Kemenangan berganti kekalahan.
Tanpa diduga
pasukan berkuda musuh menyerang pasukan kaum muslimin dari atas bukit. Pasukan
Islam pun kalang kabut.
Melihat barisan
kaum muslimin porak-poranda, musuh pun mengarahkan serangan ke Rasulullah saw.
Mush’ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera
pasukan setinggi-tingginya. Dengan suara lantang ia bertakbir, “Allahu Akbar”.
Ia maju, menerjang, berkelebat ke sana kemari mengibaskan pedangnya. ia ingin
mengalihkan serangan musuh yang sedang tertuju kepada Rasulullah saw. Ia
menyerang sendiri, namun terlihat seperti satu pasukan tentara.
Sungguh,
walaupun hanya seorang diri, Mush’ab bertempur laksana sepasukan tentara. Satu
tangannya memegang bendera pasukan yang harus terus berkibar, dan tangan
satunya lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Jumlah musuh yang
dihadapi Mush’ab semakin banyak. Mereka semua ingin menginjak-injak mayatnya
untuk mencapai Rasulullah.
Marilah kita
dengarkan apa yang diceritakan oleh saksi mata.Bagaimana saat terakhir sebelum
Mush’ab bin Umair gugur sebagai syahid.
Ibnu Sa’d
menyebutkan bahwa Ibrahim bin Muhamamd bin Syurahbil berkata, “Ayahku pernah
bercerita begini, ‘Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera pasukan di Perang
Uhud. Tatkala barisan barisan kaum Muslimin porak poranda, Mush’ab tetap gigih
berperang. Seorang tentara berkuda musuh, Ibnu Qamiah, menyerangnya dan
berhasil menebas tangan kanannya hingga putus. Mush’ab mengucapkan, “Muhammad
itu tiada lain hanyalah seorang rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh
para rasul.”
Lalu, bendera
itu ia ambil dengan tangan kkirinya dan ia kibarkan. Musuh pun menebas tangan
kirinya hingga putus. Mush’ab membungkuk ke arah bendera pasukan, lalu dengan
kedua pangkal tangannya ia mendekap dan mengibarkan bendera itu, sambil
mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang rasul, yang sebelumnya
telah didahului oleh para rasul.”
Orang berkuda
itu menyerangnya lagi dengan tombak, meghujamkannya ke dada Mush’ab. Mush’ab
pun gugur, dan bendera pun jatuh.’”
Gugrlah Mush’ab
dan jatuhlah bendera. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada. Ia
gugur setelah berjuang dengan gigih. Mengorbankan semua yang dimilikinya demi
keimanan dan keyakinannya.
Ia merasa, jika
ia gugur, akan sangat terbuka peluang untuk membunuh Rasulullah. Demi cintanya
kepada Rasulullah yang tiada terbatas, dan kekhawatiran atas nasib Rasulullah,
ia menghibur dirinya setiap kali pedang menebas tangannya, “Muhammad itu tiada
lain hanyalah seorang rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh para rasul.”
Kata-kata ini
terus ia ulangi. Kata-kata yang kemudian hari menjadi bagian dari ayat Al-Qur’an.
Al-Qur’an yang akan senantiasa dibaca oleh kaum muslimin.
***
Setelah
pertempuran usai, jasad pahlawan gagah berani ini ditemukan terbaring dengan
wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang suci. Seolah-olah tubuh yang
telah kaku itu takut menyaksikan bila Rasulullah ditimpa musibah. Karena itu,
ia menyembunyikan wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang ditakutinya itu.
Atau, ia merasa malu karena telah gugur sebelum bisa memastikan keselamatan Rasulullah,
dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam membela dan melindungi
Rasulullah.
Wahai Mush’ab
cukuplah bagimu Sang Penyayang. Namamu akan selalu dikenang.
***
Rasulullah
bersama para sahabat mengitari setiap sudut medan pertempuran untuk
menyampaikan salam perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat
terbaringnya Mush’ab, bercucurlah air mata beliau dengan deras.
Khabbab bin
Arat menceritakan, “Bersama Rasulullah kami hijrah di jalan Allah, untuk
mengharap ridha-Nya. Pasti kita mendapat ganjaran di sisi Allah. Di antara kami
ada yang lebih dulu meninggal dunia, dan belum menikmati pahalanya di dunia ini
sedikit pun. Mush’ab bin Umair adalah satu dari mereka. Ia gugur di medan
perang Uhud. Tidak ada yang bisa dipakai untuk mengkafaninya kecuali sehelai
kain. Jika ditutupkan mulai dari kepalanya, kedua kakinya kelihatan. Jika
ditutupkan mulai dari kakinya, kepalanya kelihatan. Maka, Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah
ke bagian kepalanya, dan tutupilah kakinya dengan rumput idzkhir.”.”
Betapa pun luka
pedih dan duka mendalam menimpa Rasulullah karena Hamzah (paman beliau) gugur
dan tubuhnya dirusak oleh orang-orang musyrik, hingga bercucuran air mata
beliau. Betapa pun penuhnya medan perang dengan jenazah kaum muslimin, di mana
mereka semua adalah panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya. Betapa pun
semua itu menggoreskan luka mendalam di hati Rasulullah, tapi beliau
menyempatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas
kepergiannya dan mengeluarkan isi hatinya. Rasulullah berdiri emmandangi jasad
Mush’ab bin Umair dengan penuh kasih saying dan cahaya kesetiaan. Beliau
membaca firman Allah,
“Diantara
orang-orang mukmin terdapat orang-orang yang telah menepati janji mereka kepada
Allah.” (Al-Ahzab: 23)
Ada kesedihan
di mata beliau ketika melihat kain yang dipergunakan mengkafani Mush’ab. Beliau
bersabda, “Ketika di Mekah dulu, tak seorang pun yang lebih halus pakaiannya
dan lebih rapi rambutnya daripada kamu. Tapi sekarang ini, rambutmu kusut,
hanya dibalut sehelai burdah.”
Dengan
kesayuan, Rasulullah melayangkan pandangan ke semua sudut medan peran dank e arah
para syuhada; kawan-kawan Mush’ab yang terbaring di sana. Lalu beliau bersabda,
“Sungguh, pada hari kiamat kelak, di hadapan Allah, Rasulullah akan menjadi
saksi bahwa kalian adalah para syuhada.”
Setelah itu,
beliau memandang para sahabat yang masih hidup, dan bersabda, “Hai kalian
semua, kunjungilah mereka, dan ucapkanlah salam. Demi Zat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, tak seorang muslim pun, sampai hari kiamat kelak, yang mengucapkan salam
kepada mereka, kecuali mereka akan membalas salam itu.”
***
Ucapan salam untukmu, wahai Mush’ab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar