Bismillah..
Dalam suatu sesi kuliah Psikologi Pendidikan pada program pasca sarjana di sebuh perguruan tinggi Islam, seorang professor berkata, “Ini adalah kuliah ilmiah. Oleh karena itu, kita tidak akan mengait-ngaitkan materi kuliah ini dengan agama, baik itu dari al-Qur’an maupun dari hadits.”
Dalam suatu sesi kuliah Psikologi Pendidikan pada program pasca sarjana di sebuh perguruan tinggi Islam, seorang professor berkata, “Ini adalah kuliah ilmiah. Oleh karena itu, kita tidak akan mengait-ngaitkan materi kuliah ini dengan agama, baik itu dari al-Qur’an maupun dari hadits.”
Pernyataan sang professor jelas tidak layak dikeluarkan oleh seorang professor yang mengaku dirinya muslim, terlebih ia mengajar di perguruan tinggi Islam. Ia juga pasti mengetahui bahwa al-Qur’an dan Hadits adalah pedoman utama kehidupan seorang Muslim. Bagaimana mungkin keduanya dipisahkan dari kegiatan menuntut ilmu?[1]
Menurut Osman Bakar, Islam bukanlah agama yang hanya mengatur perihal ibadah saja, melainkan juga jalan hidup yang lengkap dan sempurna, melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, tidak ada satu hal pun dalam kehidupan manusia yang tidak diatur dalam Islam. Kecenderungan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan umum bukan suatu hal yang aneh dalam dunia pendidikan saat ini. Hal ini disebabkan karena lemahnya konsep pendidikan yang ada di Indonesia. Konsep pendidikan yang masih memisahkan agama dan sains. Pemisahan ilmu sains dengan agama disebut oleh Syed M. Naquib al-Attas sebagai sekularisasi.
Banyaknya buku-buku teks pelajaran di luar bidang studi Islam umumnya mengabaikan ajaran Islam. Sebagai contoh, konsep bunga atau riba masih saja mewarnai bidang ekonomi tanpa ada upaya menjelaskan kedudukan riba/bunga dalam pandangan Islam. Pelajaran sains nyaris tidak pernah menyebutkan Tuhan dalam menggambarkan proses alam. Obat-obatan halal tidak menjadi isu penting dalam studi kedokteran dan farmasi.
Program pemerintah kurikulum 2013 sangat menekankan kompetensi inti pada penghayatan dan pengamalan ajaran agama para murid serta mengedepankan pendidikan karakter memberikan alasan yang lebih kuat perlunya pendidikan sains berbasis nilai keimanan. Suatu langkah positif terhadap niat pemerintah dalam menyusun kurikulum 2013, karena menempatkan agama sebagai hal yang penting dalam dunia pendidikan nasional. Namun pada buku ajar dari Kurikulum 2013 yang digunakan di berbagai sekolah masih didominasi pengajaran paham sekularisme, yang secara terang-terangan membuang ajaran Islam dan mempromosikan paham-paham materialisme, positivisme, relativisme, dan pluralisme.
Dalam buku berjudul “Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas X”, berdasarkan Kurikulum 2013 tentang Asal-usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia, disebutkan bahwa karakter yang dikembangkan dalam pembahasan ini adalah: “Mensyukuri kebesaran Pencipta dan bertakwa kepada-Nya. Mempelajari secara ilmiah terjadinya alam semesta mengarahkan siswa untuk sadar bahwa di balik segala peristiwa sejarah, Tuhan memiliki maksud dan tujuan yang mulia untuk kita, dan karena itu mendorong kita untuk berserah hanya kepada-Nya.”
Niat dan karakter yang dituju sangatlah baik, tetapi, sangat mengherankan justru dalam pembahasan tentang sejarah manusia Indonesia tersebut, sama sekali tidak terdapat rujukan wahyu Allah. Semua pembahasan hanya berlandaskan empirisisme dan rasionalisme, seolah ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang penciptaan alam semesta dan sejarah penciptaan manusia dan juga asal-usul manusia tidak dianggap sebagai sumber ilmu, sehingga tidak dimasukkan ke dalam kategori “ilmiah”.[2] Cara berpikir semacam ini juga merupakan dogma yang diyakini oleh ilmuwan sekular. Hal itu merupakan kesalahan epistemologis, yang memisahkan panca indera dan akal sebagai sumber ilmu, dengan khabar shadiq (true report) wahyu Allah sebagai sumber ilmu. Padahal, dalam konsep keilmuan Islam, ketiga sumber ilmu itu diakui dan diletakkan pada tempatnya secara harmonis.
Selama ini para pelajar banyak dijejali berbagai ilmu tetapi tidak diajarkan tentang makna dan kedudukan ilmu di dalam Islam, prinsip apa yang harus dipegang, adab dalam menuntut ilmu dan lain sebagainya. Dahulu yang dicontohkan oleh para ulama, belajar sains juga untuk semakin dekat kepada Allah. Sehingga jika sains berkembang, keimanan pun semakin mendalam. Bahkan sebagian ulama menyamakan pentingnya memahami dan merenungkan alam dengan Al-Qur’an. Dapat dilihat dari penggunaan istilah yang sama untuk menyebut kandungan Al-Qur’an sebagai ayat qauliyyah, sementara alam sebagai ayat kauniyyah. Keduanya adalah ayat-ayat Allah. Jadi tidak dapat dipisahkan antara alam dan Al-Qur’an. Ulama dahulu sering mengatakan hikmah dari fenomena alam. Allah menciptakan langit berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat. Kemudian Allah tanyakan, apakah ada sesuatu yang cacat atau retak di langit tersebut? Jawabannya tentu saja tidak. Kemudian Allah memerintah melihatnya berulang lagi (bahkan berulang kali), apakah ada yang cacat di langit itu? Hasilnya, jika dilihat berulang kali tidak ada cacat sama sekali pada ciptaan Allah tersebut. Namun yang didapat adalah rasa payah karena berulangkalinya menelusuri langit itu.
Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa jika sama sekali di langit tersebut tidak ada cacat, maka ini menunjukkan sempurnanya hasil ciptaan Allah. Ciptaan Allah tersebut begitu seimbang dilihat dari berbagai sisi, yaitu dari warna, hakikatnya, dan ketinggiannya. Begitu pula pada ciptaan Allah lainnya seperti matahari, rembulan dan bintang yang bersinar. Sudah sepantasnya menimbulkan pengakuan kita atas kebesaran Allah.
Bila dihubungkan dengan pendidikan, masalah sains yang paling mengkhawatirkan adalah sekularisasi, yaitu ketika agama dicabut dari sains. Ini kesalahan yang besar karena dapat menjadikan seseorang yang berwajah dua. Satu sisi, seseorang jadi yakin ketika belajar sains tentang hukum kekekalan energi ketika belajar sains yang mengatakan energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi hanya dapat berubah dari bentuk energi satu ke bentuk energi lain. Padahal hukum itu memiliki dua pengertian yang bertentangan dengan Islam. Pertama, energi bukan zat ciptaan, artinya energi itu ada sendirinya dan menyangkal adanya Allah, Maha Pencipta. Kedua, energi tidak dapat dimusnahkan, artinya energi akan selalu kekal. Sisi lain ia yakin juga ketika belajar agama tentang langit dan bumi beserta seluruh isinya yang merupakan ciptaan Allah. Selain itu, seluruh alam bersifat fana dan akan musnah sesuai kehendak penciptanya. Ini berarti energi adalah salah satu ciptaan Allah yang suatu saat akan musnah juga.
Indonesia sebagai negara yang didirikan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa sepatutnya menjadikan nilai-nilai agama sebagai dasar dalam seluruh bidang kehidupan rakyat Indonesia termasuk dalam pendidikan di Indonesia. Sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003 mengenai Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga disebutkan tentang tujuan Pendidikan Tinggi di Indonesia, yaitu: (a). berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Sofyan Sauri menyebutkan bahwa tujuan ini menunjukkan bahwa nilai inti pembangunan karakter bangsa berorientasi mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa nilai keimanan menjadi tujuan utama pendidikan di Indonesia sehingga pendikan sains harus dilandasi oleh tujuan ini.
Betapa gencarnya pemikiran sekuler barat menyusup dalam pemikiran kita dan secara perlahan menggeser dan mengaburkan makna ilmu yang bukan saja berbeda tetapi juga bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Padahal sikap dan perilaku seseorang dibentuk dari ilmu yang dipahaminya. Tidak mengherankan, jika banyak orang yang beragama Islam, tetapi pemikiran, sikap dan perilakunya jauh dari Islam. Oleh Karena itu sangatlah penting mengenalkan dan menyebar luaskan pandangan Islam tentang ilmu termasuk di dalamnya ilmu sains kepada umat Islam, terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Semua ini bertujuan agar ilmu dapat mengantarkan kita ke jalan yang benar sehingga sampai pada kebahagiaan yang hakiki.
[1]Inilah! Wasiat Nabi bagi Para Penuntut Ilmu, Dr. Wendi Zarman. hal.14, RuangKata, cetakan pertama, 2012
[2] Infiltrasi Sekularisme dalam Kurikulum 2013, http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2014/06/09/22971/infiltrasi-sekularisme-dalam-kurikulum-2013.html
Oleh : Kharisma Nugrahandani Restuti
Oleh : Kharisma Nugrahandani Restuti
Referensi:
Inilah!
Wasiat Nabi bagi Para Penuntut Ilmu, Dr. Wendi Zarman. hal.14-15, RuangKata,
cetakan pertama, 2012
Taisir Al Karimir Rohman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal.
875, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
Infiltrasi Sekularisme dalam Kurikulum 2013, http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2014/06/09/22971/infiltrasi-sekularisme-dalam-kurikulum-2013.html
Sains Islam Ketika Kini Ilmu Agama
Dipisahkan, http://www.voa-islam.com/read/science/2014/08/21/29184/sains-islam-ketika-kini-ilmu-agama-dipisahkan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar