Begitu besar perubahan
yang telah saya alami setelah saya masuk ke kampus baru saya ini, dari
penampilan, pergaulan, sudut pandang, pemikiran dan akademik perkuliahan.
Saya tidak hanya harus beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman
yang baru, namun juga dengan diri saya sendiri. Ada banyak sekali perubahan
baik itu negatif maupun positif. Terkadang saya merasa tertekan dengan
perubahan ini. Namun ketika saya mentafakurinya, ada banyak hikmah yang bisa
saya ambil sebetulnya.
Keluarga, terutama orang tua pun terheran, “Kamu ikut apa di Bandung?”,
“Bapak khawatir kamu ikut aliran aneh-aneh.”
Karena melihat penampilan saya, yang mungkin tak sedikit juga orang
menyebut penampilan seperti ini dengan sebutan fanatic, ekstrimis, dan
sebagainya.
Atau tentang pemikiran saya, sebetulnya kehati-hatian saya yang belum
mengetahui kondisi sehingga memilih diam.
Kemudian tentang pergaulan saya, biasanya saya sangat jarang ada di rumah
kecuali untuk tidur saja, saya lebih memilih beraktivitas di luar rumah dan
bergaul dengan teman-teman yang lain, entah laki-laki maupun perempuan.
Kebanyakan teman saya adalah laki-laki karena lingkungan teknik juga, dan dengan mereka saya paling sering
berinteraksi setiap harinya baik untuk hal akademik maupun pergaulan
sehari-hari, sehingga saya sangat mengenal dengan baik teman-teman saya.
Tentu hal ini berpengaruh positif pada akademik saya, kami bisa saling bertukar
informasi dan bekerja sama setiap harinya, serta berbagi pengalaman dan canda
dengan mereka, dan indeks kebahagiaan saya meningkat.
Tak dapat dipungkiri juga kebanyakan teman saya sekarang adalah
laki-laki namun berbeda dengan teman-teman lelaki yang dulu, dan hampir tak
pernah berinteraksi dengan mereka kecuali dalam hal akademik dan lembaga
dakwah, itu pun sangat jarang, sehingga saya seperti tak mengenal siapapun
teman laki-laki dengan baik. sehingga saya merasa hal ini berdapak negatif terhadap
nilai akademik saya dan indeks kebahagiaan saya menurun drastis, karena tekanan
akademik dan ketegasan saya dalam berinteraksi dengan lawan jenis, padahal saya
dikelilingi oleh 80% teman laki-laki di kampus.
Tak jarang saya mengeluhkan hal ini, mengeluhkan tekanan akademik yang
semakin menekan setiap semesternya. Mengeluhkan bahwa saya tidak bahagia
disini. Mengeluhakan bahwa saya tidak memiliki teman belajar maupun berbagi
disini. Namun kemudian mencoba untuk menguatkan diri bahwa saya harus bertahan
disini. Mencoba mengadaptasikan diri pada perubahan yang begitu drastis.
Saya mencoba untuk mentafakurinya, mungkin bukan IPK cumlaude yang saya
butuhkan, bukan pula banyaknya teman-teman ataupun sahabat laki-laki, bukan
pula canda tawa setiap hari. Namun yang saya
butuhkan adalah bagaimana saya belajar untuk bersabar, bagaimana saya
belajar untuk berendah hati, bagaimana saya belajar untuk bersyukur dan ikhlas,
bagaimana saya belajar untuk menggantungkan hidup hanya pada Allah satu-satunya
di tengah berbagai tekanan dan siapa lagi yang dapat menolong saya selain
Allah?
Seringkali kebutuhan dan keinginan tidak berbanding lurus. Apa yang saya
inginkan belum tentu yang saya butuhkan, apa yang saya inginkan belum tentu
baik untuk saya. Allah adalah Perencana terbaik. Ada rencana baik yang
tersembunyi dibalik segala cobaan kehidupan. Dan jika benar ini adalah
kebutuhan saya, bahwa saya perlu belajar untuk bersabar, lantas sudahkah saya
bersabar? Sudahkah saya memiliki kesabaran yang indah itu? Kesabaran yang indah
bukanlah kebaran yang dikuat-kuatkan untuk bersabar, namun kesabaran yang indah
adalah kesabaran yang tulus, terlahir dengan rasa ikhlas di dalam hati.
Atau terkadang terbetik dalam hati, apakah Allah sedang menghukumku?
Jika iya, saya berharap dengan ini dosa-dosa saya dapat terhapuskan. Berarti
Allah masih menyayangi saya. Atau mungkin Allah hanya sedang menguji hamba-Nya,
apakah ia bersabar ataukah tidak, apakah ia masih bersyukur atau mengkufuri
nikmat-nikmat Allah.
Saya seringkali bertanya-tanya dalam hati, apa tanda Allah mencintai
seseorang? Apakah dengan memberikannya kekayaan, jabatan, kekuasaan, keturunan,
banyaknya kawan, penggemar atau nikmat-nikmat duniawi lainnya?
Lantas apakah Allah membenci seseorang dengan membiarkan seseorang
tersebut hidup dalam kemiskinan, sakit, kekurangan materi, kesendirian dan
sebagainya?
Ternyata tidak, bukan atribut-atribut duniawi yang menjadi parameter
kecintaan Allah terhadap hamba-Nya. Tetapi tanda Allah mencintai hamba-Nya
adalah dengan semakin didekatkannya hamba tersebut terhadap Rabb-nya, semakin
dimudahkannya hamba tersebut dalam mencari ilmu agama, ditambahkan keimanannya,
kemuliaannya, keikhlasannya, serta didekatkan-Nya hamba tersebut dengan
orang-orang yang shaleh.
Dunia bukanlah tempat untuk beristirahat, melainkan tempat untuk
berjuang dan belajar, mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan kekal
setelah kematian nanti. Perjuangan ini hanya akan berhenti setelah diri
menginjakkan kaki di pintu jannah-Nya.
19.00, 24 Maret 2014
Taman Sari, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar