Rabu, 26 Maret 2014

You Are Not Alone, Allah Is With You

Begitu besar perubahan yang telah saya alami setelah saya masuk ke kampus baru saya ini, dari penampilan, pergaulan, sudut pandang, pemikiran dan akademik perkuliahan.
Saya tidak hanya harus beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman yang baru, namun juga dengan diri saya sendiri. Ada banyak sekali perubahan baik itu negatif maupun positif. Terkadang saya merasa tertekan dengan perubahan ini. Namun ketika saya mentafakurinya, ada banyak hikmah yang bisa saya ambil sebetulnya.

Keluarga, terutama orang tua pun terheran, “Kamu ikut apa di Bandung?”, “Bapak khawatir kamu ikut aliran aneh-aneh.”  Karena melihat penampilan saya, yang mungkin tak sedikit juga orang menyebut penampilan seperti ini dengan sebutan fanatic, ekstrimis, dan sebagainya.
Atau tentang pemikiran saya, sebetulnya kehati-hatian saya yang belum mengetahui kondisi sehingga memilih diam.
Kemudian tentang pergaulan saya, biasanya saya sangat jarang ada di rumah kecuali untuk tidur saja, saya lebih memilih beraktivitas di luar rumah dan bergaul dengan teman-teman yang lain, entah laki-laki maupun perempuan. Kebanyakan teman saya adalah laki-laki karena lingkungan teknik juga, dan dengan mereka saya paling sering berinteraksi setiap harinya baik untuk hal akademik maupun pergaulan sehari-hari, sehingga saya sangat mengenal dengan baik teman-teman saya. Tentu hal ini berpengaruh positif pada akademik saya, kami bisa saling bertukar informasi dan bekerja sama setiap harinya, serta berbagi pengalaman dan canda dengan mereka, dan indeks kebahagiaan saya meningkat.

Tak dapat dipungkiri juga kebanyakan teman saya sekarang adalah laki-laki namun berbeda dengan teman-teman lelaki yang dulu, dan hampir tak pernah berinteraksi dengan mereka kecuali dalam hal akademik dan lembaga dakwah, itu pun sangat jarang, sehingga saya seperti tak mengenal siapapun teman laki-laki dengan baik. sehingga saya merasa hal ini berdapak negatif terhadap nilai akademik saya dan indeks kebahagiaan saya menurun drastis, karena tekanan akademik dan ketegasan saya dalam berinteraksi dengan lawan jenis, padahal saya dikelilingi oleh 80% teman laki-laki di kampus.
Tak jarang saya mengeluhkan hal ini, mengeluhkan tekanan akademik yang semakin menekan setiap semesternya. Mengeluhkan bahwa saya tidak bahagia disini. Mengeluhakan bahwa saya tidak memiliki teman belajar maupun berbagi disini. Namun kemudian mencoba untuk menguatkan diri bahwa saya harus bertahan disini. Mencoba mengadaptasikan diri pada perubahan yang begitu drastis.

Saya mencoba untuk mentafakurinya, mungkin bukan IPK cumlaude yang saya butuhkan, bukan pula banyaknya teman-teman ataupun sahabat laki-laki, bukan pula canda tawa setiap hari. Namun yang saya  butuhkan adalah bagaimana saya belajar untuk bersabar, bagaimana saya belajar untuk berendah hati, bagaimana saya belajar untuk bersyukur dan ikhlas, bagaimana saya belajar untuk menggantungkan hidup hanya pada Allah satu-satunya di tengah berbagai tekanan dan siapa lagi yang dapat menolong saya selain Allah?
Seringkali kebutuhan dan keinginan tidak berbanding lurus. Apa yang saya inginkan belum tentu yang saya butuhkan, apa yang saya inginkan belum tentu baik untuk saya. Allah adalah Perencana terbaik. Ada rencana baik yang tersembunyi dibalik segala cobaan kehidupan. Dan jika benar ini adalah kebutuhan saya, bahwa saya perlu belajar untuk bersabar, lantas sudahkah saya bersabar? Sudahkah saya memiliki kesabaran yang indah itu? Kesabaran yang indah bukanlah kebaran yang dikuat-kuatkan untuk bersabar, namun kesabaran yang indah adalah kesabaran yang tulus, terlahir dengan rasa ikhlas di dalam hati.

Atau terkadang terbetik dalam hati, apakah Allah sedang menghukumku? Jika iya, saya berharap dengan ini dosa-dosa saya dapat terhapuskan. Berarti Allah masih menyayangi saya. Atau mungkin Allah hanya sedang menguji hamba-Nya, apakah ia bersabar ataukah tidak, apakah ia masih bersyukur atau mengkufuri nikmat-nikmat Allah.
Saya seringkali bertanya-tanya dalam hati, apa tanda Allah mencintai seseorang? Apakah dengan memberikannya kekayaan, jabatan, kekuasaan, keturunan, banyaknya kawan, penggemar atau nikmat-nikmat duniawi lainnya?

Lantas apakah Allah membenci seseorang dengan membiarkan seseorang tersebut hidup dalam kemiskinan, sakit, kekurangan materi, kesendirian dan sebagainya?
Ternyata tidak, bukan atribut-atribut duniawi yang menjadi parameter kecintaan Allah terhadap hamba-Nya. Tetapi tanda Allah mencintai hamba-Nya adalah dengan semakin didekatkannya hamba tersebut terhadap Rabb-nya, semakin dimudahkannya hamba tersebut dalam mencari ilmu agama, ditambahkan keimanannya, kemuliaannya, keikhlasannya, serta didekatkan-Nya hamba tersebut dengan orang-orang yang shaleh.

Dunia bukanlah tempat untuk beristirahat, melainkan tempat untuk berjuang dan belajar, mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan kekal setelah kematian nanti. Perjuangan ini hanya akan berhenti setelah diri menginjakkan kaki di pintu jannah-Nya.

19.00, 24 Maret 2014

Taman Sari, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar