Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata:
جاء الفقراء إلى النبي فقالوا: يا
رسول الله، ذهب أهل الدثور من الأموال بالدرجارت العلا والنعيم المقيم، يصلون كما
نصلي، ويصومون كما نصوم، ولهم فضل من أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون،
وليست لنا أموال…وفي رواية مسلم: فقال رسول الله في آخر الحديث: “ذلك فضل الله
يؤتيه من يشاء” (متفق عليه).
“Orang-orang
miskin (dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah
datang menemui beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka berkata:
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang (kaya) yang
memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi (di sisi
Allah Ta’ala) dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan
shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami
berpuasa, tapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk
menunaikan ibadah haji, umrah, jihad dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki
harta…“.
Dalam
riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Itu adalah kerunia (dari) Allah yang diberikan-Nya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya“1.
—
Hadits yang
agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang kaya yang memanfaatkan
kekayaannya untuk meraih takwa kepada Allah Ta’ala, dengan menginfakkan
hartanya di jalan yang diridhai-Nya.
Imam Ibnu
Hajar al-’Asqalani berkata, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan)
lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Ta’ala) pada
(harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan Allah
(seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang
kaya”2.
Beberapa
faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Mensyukuri nikmat harta
yang Allah Ta’ala berikan kepada kita adalah dengan mengakui dan
meyakini dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah Ta’ala semata,
menyebut-nyebut dan menampakkan nikmat tersebut secara lahir, serta menggunakannya
di jalan yang diridhai-Nya3.
- Allah Ta’ala
memuji orang-orang yang memiliki harta tapi tidak membuat mereka lalai dari
mengingat Allah Ta’ala dan beribadah kepada-Nya, dalam firman-Nya,
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ
ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا
تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ}
“Laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada
hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”
(QS an-Nuur:37).
Imam Ibnu
Katsir berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan
oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli (berbisnis)
dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb
mereka (Allah Ta’ala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezki kepada
mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan
kebaikan) di sisi Allah Ta’ala adalah lebih baik dan lebih utama
daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan
mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi”4.
- Imam
al-Qurthubi berkata, “Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak
disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan
kewajiban-kewajibannya, maka ketika tiba waktu shalat fardhu hendaknya dia
(segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia
termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Ta’ala) dalam
ayat (di atas) ini”5.
- Imam Ibnu
Muflih al-Maqdisi berkata, “Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada
zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk
mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut
(dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi
dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Barapa banyak orang
kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala,
seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, demikian pula (sahabat Nabi Ta’ala)
‘Utsman (bin ‘Affan) radhiyallahu ‘anhu dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf radhiyallahu
‘anhu. Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru)
melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan
serta kedekatan kepada-Nya…”6.
- Penting
untuk diingatkan di sini bahwa mencintai harta dan kedudukan dunia secara
berlebihan merupakan fitnah yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam jurang
kebinasaan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«إِنَّ
لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»
“Sesungguhnya
pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah
(pada) umatku adalah harta”.
Maksudnya:
menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak
agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari
melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan membuatnya lupa kepada
akhirat, sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ
وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}
“Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala
yang besar” (QS at-Tagaabun:15)7.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد
وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota
Kendari, 28 Muharram 1432 H
—
Penulis:
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar