Minggu, 12 Mei 2013

Sosok Ayah

Bismillahirrahmanirrahim.
Telfon berdering saat aku sedang berada di kampus. Kulihat pada layar handphone bertuliskan Abah is calling. Aku mengangkat telfon dari beliau. Tak kuasa aku menahan air mata, berkaca pada pelupuk dan menetes membasahi pipi dan kerudungku. Aku merindukannya, namun ada hal lain yang membuatku menangis tersedu saat itu.

Memperhatikan taman-taman di kampus sembari mendengar suara beliau begitu menentramkan. Beberapa waktu yang lalu aku meminta izin kepada beliau jika liburan aku ingin menimba ilmu di Kediri di sebuah pondok Al-Qur'an dan kampung bahasa disana. Terdengar suara Ayah yang begitu berat untuk menjawabnya, "Iya ga papa. Tapi kalau di Kaliwungu saja gimana mbak?", tanya beliau. Ayah selalu memanggilku mbak, karena aku mempunyai seorang adik.
"di Kaliwungu ndak ada kampung bahasanya,Pah. Biar ndak mbosen, dikasih selingan antara belajar bahasa sama belajar Al-Qur'an.", jawabku. Ayah tak menanggapi lagi.

Kini tiba-tiba Ayah kembali membincangkan tentang hal itu, ternyata beliau mencarikan pondok Al-Qur'an + bahasa yang masih dekat dengan rumah. "Mbak, kalau pondok Al-Qur'annya di Sukorejo bagaimana? disana ada pembelajaran bahasa juga."
Kini aku mengerti, betapa lembut kata-kata Ayah. Beliau bukan tak mengijinkanku, tapi ingin aku tidak jauh-jauh lagi dari beliau di liburan ini. Sekarang aku menurut. Ayah betapa lembut kata-kata Ayah, bahkan Ayah tidak pernah bilang 'Tidak boleh' kepadaku.

Tiba-tiba aku mengangis dengan semakin terisak. "Kenapa mbak?" tanya Ayah. Suaraku tercekat, hanya isak tangis yang keluar. Aku ceritakan masalahku dua hari ini. Ayah mendengarkan dengan seksama hingga aku selesai.
"Ngga apa-apa mbak. Apa yang sudah Allah kasih ke kita sudah sangat banyak. Masalah ini tidak perlu dijadikan beban. Ini hanya masalah kecil, untuk pembelajaran saja ya. Namun jangan jadikan hal ini menjadi penghambat bagimu untuk selalu berbuat baik pada orang lain. Banyak-banyak beristighfar ya.."

Aku teringat pesan Ayah 3 tahun lalu, di meja makan kami. Kala itu sedang ramai berita tentang jebolnya sebuah tanggul di daerah Jakarta sehingga terjadi banjir besar disana. "Apakah kita pantas menyebutnya sebagai musibah atau bencana dari-Nya, padahal diri ini milik-Nya. Layaknya seorang pelukis, ia berhak melakukan apapun terhadap lukisannya. Mau membuangnya, atau memajangnya, terserah pada si pelukis itu. Diri ini milik-Nya, dan akan kembali kepada-Nya."

Ayah.. Aku ingin kelak mempunyai imam yang begitu pengertian seperti Ayah..

1 komentar: