Selasa, 06 Mei 2014

Taqlid (bagian 4)

Bahaya Taqlid.
Taqlid buta dapat menimbulkan fanatisme yang berlebihan. Jika ini yang terjadi, maka tidak ada penghargaan lagi terhadap pendapat orang lain. Yang penting adalah kata Imamku, kata Kyaiku, kata Ulamaku, yang benar adalah mazhabku, kelompokku dan partaiku. Tak peduli lagi salah atau benar. Tidak jarang hal seperti ini menimbulkan konflik dan gesekan dengan pihak lain dan tidak jarang berakhir dengan kerugian materi bahkan nyawa.
Jika sudah seperti ini, maka yang terjadi ialah perpecahan, perbedaan tidak lagi membawa rahmat, tapi membawa laknat.

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” QS. Ali Imran : 105

Taqlid buta akan menyuburkan kecenderungan untuk pasrah, Ijtihad yang merupakan upaya sungguh-sungguh untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada akan menjadi lesu. Produktifitas intelektualitas akan menjadi lesu, kreatifitas mati suri, inovasi terhambat, umat menjadi tidak kritis. Jika ini yang menimpa mayoritas umat islam, maka dalam bidang apapun akan selalu ketinggalan. Hanya membebek orang yang dianggap lebih superior, orang yang seperti ini akan menggoda oenguasa dan pemuka agama untuk melakukan penyimpangan.

Membolehkan begitu saja taqlid buta sama saja seperti melantunkan inferioritas, rendah diri, tidak percaya dengan kemampuan sendiri. Jika ini yang terjadi pada umat dan bangsa, maka umat pada bangsa ini tidak akan pernah jadi pemain, tidak akan jadi penentu, hanya akan jadi mainan, hanya akan menjadi buih di lautan.

"Hampir tiba suatu masa dimana bangsa-bangsa lain akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang kelaparan mengerumuni hidangan mereka.

Maka salah seorang sahabat bertanya,"Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada masa itu?

Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab,"Bahkan, pada masa itu jumlah kamu banyak sekali, tetapi kamu umpama BUIH di lautan, dan Allah akan mencabut 'rasa gentar' terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan melemparkan ke dalam hati kamu penyakit al-wahnu."

 Seorang sahabat bertanya, "Apakah itu al-wahnu itu, ya Rasulullah?
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab, "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud & Ahmad) 

Penyakit taqlid buta juga akan cenderung mengkultuskan atau menganggap suci orang yang diikuti, juga akan memperlakukan atau memuji secara berlebihan, menganggap suci apapun yang berhubungan dengan orang tersebut. Padahal Rasulullah S.A.W. yang merupakan manusia terpilih melarang untuk memuji diri beliau secara berlebihan.

Janganlah kalian berlebih- lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang- orang Nasrani telah berlebih- lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba- Nya, maka katakanlah, “’Abdullaah Wa Rosuuluhu (hamba Alloh dan Rasul- Nya)”. [HR. al- Bukhori]             

Pujian berlebihan bisa dalam bentuk memuji dengan sifat-sifat yang hanya berhak untuk Allah atau memuji dengan hal yang mengada-ada dan bohong.

Taqlid (bagian 3)

Lihatlah bagaimana sesatnya kaum nabi Nuh karena ikut-ikutan menyembah arca-arca yang dibuat oleh nenek moyang mereka, yang mereka sendiri tiadk mengerti untuk apa arca-arca itu dibuat oleh nenek moyang mereka.

Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasrQS. Nuh : 23

Suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr adalah nama-nama arca yang disembah oleh kaum Nabi Nuh. Tadinya itu adalah nama-nama orang-orang saleh di antara mereka. Ketika orang-orang saleh tersebut meninggal, setan membujuk mereka untuk membuat arca sebagai monument untuk mengenang mereka. Generasi pun berganti, mereka tidak mengerti untuk apa monument-monumen tersebut, mereka pun menyembahnya, generasi yang selanjutnya mengikuti begitu saja, tanpa mempertanyakan sebab dan alasannya. Itulah taqlid buta.

Sikap taqlid mereka ini diperparah oleh rahib mereka yang menyimpang yang menyelewengkan ayat-ayat Allah untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Yang halal menjadi haram, sementara yang haram mejadi halal. Yang benar dipropagandakan menajdi batil, sebaliknya yang batil dipoles supaya tampak menjadi benar. Mereka mempermainkan ayat-ayat Allah sesuai dengan bayaran dan keuntungan duniawi yang mereka dapatkan.

Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” QS. Al Baqarah : 79

Taqlid (bagian 2)

Antara Taqlid dan Ittiba’
Taqlid berasal dari bahasa Arab qalada, yang artinya menggantungkan sesuatu di leher. Para ulama memberi definisi, taqlid adalah mengikuti pendapat suatu mazhab tanpa mengetahui dasar dalil atau dalam ungkapan lain mengikuti suatu perkataan, perbuatan tanpa mengetahui dalil yang dijadikan dasar.

Tradisi taqlid dalam sejarah umat Islam mulai berkembang pada akhir abad ke-4 Hijriyah, setelah generasi imam mazhab yang 4 : Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hambali.

Diantara berkembangnya taqlid adalah karena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap ulama pada masa itu. Karena kecenderungan sebagian ulama untuk mendekati penguasa dan mengabdi pada kepentingan penguasa dan kelompoknya, maka kewibawaan ulama pun meluntur, akhirnya umat mengabaikan mereka. Umat lebih memilih untuk mengembalikan persoalan-persoalan fikih pada pendapat para imam mazhab yang 4 daripada mengikuti ijtihad para ulama masa itu yang cenderung banyak intervensi kepentingan dunia sehingga kebenaran menjadi kabur. Bahkan ada ulama yang menfatwakan wajib untuk mengikuti salah satu mazhab yang 4.

Para ulama juga membagi taqlid dalam 2 hal :
  1. Taqlid dalam pokok agama. Urusan pokok agama seperti yang berkaitan dengan ma’rifatullah atau pengetahuan tentang Allah, prinsip-prinsip aqidah, dalam hal ini tidak boleh mengikuti taqlid. Karena pengetahuan tentang Allah harus dating dari hati dan keyakinan.
Keyakinan terhadap prinsip-prinsip aqidah tidak boleh bersandar pada individu lain artinya tidak boleh sekedar ikut-ikutan. Hal-hal ini bersifat mendasar. Mengenal dan mempelajari agama Islam sejatinya tidak lah sulit bagi siapapun.
  1. 2.      Taqlid dalam masalah-masalah fiqih dan cabang. Taqlid dalam masalah ini tetap tidak boleh dilakukan. Taqlid seakan-akan orang yang diikuti adalah pemberi syari’at baru. Taqlid buta terhadap seorang imam atau tokoh akan rentan menyimpang dan tersesatkan.

Karena tidak ada manusia yang dijamin perkataan dan perbuatannya 100 % kecuali Rasulullah S.A.W.
Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). QS. Al Ahzab[33] : 61

Berbeda dengan taqlid. Ittiba’ adalah mengikuti dengan dasar dan dalil yang benar sehingga orang yang ittiba’ paham betul kalau yang dia ikuti ada dasar atau dalil yang benar, yang diikuti adalah hokum yang Allah tetapkan, bukan hawa nafsu orang yang diikuti.

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” QS. Al A’raf : 3

Bermahzab atau mengikuti pendapat seorang imam tidak serta merta disebut taqlid jika mengikutinya dengan ilmu, maka ini adalah ittiba’, jika tanpa ilmu maka ini adalah taqlid. Walau sama-sama mengikuti jelas ada perbedaan mendasar antara taqlid dan ittiba’. Taqlid dilarang, Ittiba’ dianjurkan. Karena Taqlid itu buta, sedangkan ittiba’ adalah melihat.

Taqlid buta terhadap pemimpin dan pemuka agama menjadi salah satu  yang menyebabkan  kesesatan dan penyimpangan umat terdahulu, bahkan ketika pendeta dan rahib mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan, mereka juga mengikutinya.  
Para imam mazhab yang 4 dalam berbagai kesempatan juga menyampaikan untuk tidak mengikuti semua yang mereka katakan.

Imam Abu Hanifah mengatakan : “Inilah pendapatku. Inilah yang terbaik menurutku. Jika ada pendapat yang lebih baik dari ini, maka kami akan menerimanya”

Sementara Imam Syafi’I berujar : “Jika kalian mendapatkan hadits shahih yang berbeda dengan pendapatku, maka lempar saja pendapatku.”

Sedangkan Imam Ahmad mengatakan : “Jangan bertaqlid kepadaku, tidak juga kepada imam Syafi’I, Imam Malik atau Imam Hauri. Belajarlah sebagaimana kami belajar.”

Meskipun demikian sebagian ulama seperti Ibnu Abdil Barr, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim berpendapat, Taqlid dieprbolehkan dalam kondisi tertentu yang bersifat darurat, seperti keadaan dimana seseorang harus segera melakukan suatu ibadah sementara ia tidak mengetahui dalilnya, meskipun begitu pada dasarnya seseorang tetap dituntut untuk sadar dan tahu terhadap apa pun yang dia lakukan apalagi dalam hal ibadah.


Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” QS. Al Israa’ : 36

Wallahu A'lam Bisshawab
ditulis ulang dari rekaman Khazanah Ensiklopedi Islam

Taqlid (bagian 1)

Bismillahirrahmanirrahim
TAQLID

Makian, cacian terhadap kelompok yang tidak sependapat masih sering kita temukan di berita dan laman-laman media sosial. Bahkan tidak jarang menjadi pertikaian. Label kafir, sesat, bid’ah seakan menjadi barang gratisan yang bisa diobral siapa saja. Konflik antar suku, antar kampung, antar ormas, tawuran antar pelajar kerap mewarnai pemberitaan media massa. Kerugian materi tidak terhitung lagi, bahkan korban jiwa kerap berjatuhan. Dan ironisnya ini terjadi antar sesama Muslim.
Sering kali penyebabnya adalah hal-hal sepele. Mereka yang terlibat sering kali tidak paham persoalan. Hanya karena mengikuti dan membela arahan pimpinan, ulama atau kelompoknya tanpa mengetahui inti permasalahan yang bisa jadi bukanlah permasalahan fundamental.

Loyalitas bergeser menjadi loyalitas Ormas, partai, kelompok, dan suku. Taqlid buta, fanatisme sempit telah mengorbankan nilai kebenaran dan persatuan. Taqlid bisa jadi penting pada satu sisi. Tapi mengetahui kebenaran di sisi Allah dan Rasul-Nya haruslah menjadi yang utama.