Selasa, 06 Mei 2014

Taqlid (bagian 2)

Antara Taqlid dan Ittiba’
Taqlid berasal dari bahasa Arab qalada, yang artinya menggantungkan sesuatu di leher. Para ulama memberi definisi, taqlid adalah mengikuti pendapat suatu mazhab tanpa mengetahui dasar dalil atau dalam ungkapan lain mengikuti suatu perkataan, perbuatan tanpa mengetahui dalil yang dijadikan dasar.

Tradisi taqlid dalam sejarah umat Islam mulai berkembang pada akhir abad ke-4 Hijriyah, setelah generasi imam mazhab yang 4 : Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hambali.

Diantara berkembangnya taqlid adalah karena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap ulama pada masa itu. Karena kecenderungan sebagian ulama untuk mendekati penguasa dan mengabdi pada kepentingan penguasa dan kelompoknya, maka kewibawaan ulama pun meluntur, akhirnya umat mengabaikan mereka. Umat lebih memilih untuk mengembalikan persoalan-persoalan fikih pada pendapat para imam mazhab yang 4 daripada mengikuti ijtihad para ulama masa itu yang cenderung banyak intervensi kepentingan dunia sehingga kebenaran menjadi kabur. Bahkan ada ulama yang menfatwakan wajib untuk mengikuti salah satu mazhab yang 4.

Para ulama juga membagi taqlid dalam 2 hal :
  1. Taqlid dalam pokok agama. Urusan pokok agama seperti yang berkaitan dengan ma’rifatullah atau pengetahuan tentang Allah, prinsip-prinsip aqidah, dalam hal ini tidak boleh mengikuti taqlid. Karena pengetahuan tentang Allah harus dating dari hati dan keyakinan.
Keyakinan terhadap prinsip-prinsip aqidah tidak boleh bersandar pada individu lain artinya tidak boleh sekedar ikut-ikutan. Hal-hal ini bersifat mendasar. Mengenal dan mempelajari agama Islam sejatinya tidak lah sulit bagi siapapun.
  1. 2.      Taqlid dalam masalah-masalah fiqih dan cabang. Taqlid dalam masalah ini tetap tidak boleh dilakukan. Taqlid seakan-akan orang yang diikuti adalah pemberi syari’at baru. Taqlid buta terhadap seorang imam atau tokoh akan rentan menyimpang dan tersesatkan.

Karena tidak ada manusia yang dijamin perkataan dan perbuatannya 100 % kecuali Rasulullah S.A.W.
Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). QS. Al Ahzab[33] : 61

Berbeda dengan taqlid. Ittiba’ adalah mengikuti dengan dasar dan dalil yang benar sehingga orang yang ittiba’ paham betul kalau yang dia ikuti ada dasar atau dalil yang benar, yang diikuti adalah hokum yang Allah tetapkan, bukan hawa nafsu orang yang diikuti.

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” QS. Al A’raf : 3

Bermahzab atau mengikuti pendapat seorang imam tidak serta merta disebut taqlid jika mengikutinya dengan ilmu, maka ini adalah ittiba’, jika tanpa ilmu maka ini adalah taqlid. Walau sama-sama mengikuti jelas ada perbedaan mendasar antara taqlid dan ittiba’. Taqlid dilarang, Ittiba’ dianjurkan. Karena Taqlid itu buta, sedangkan ittiba’ adalah melihat.

Taqlid buta terhadap pemimpin dan pemuka agama menjadi salah satu  yang menyebabkan  kesesatan dan penyimpangan umat terdahulu, bahkan ketika pendeta dan rahib mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan, mereka juga mengikutinya.  
Para imam mazhab yang 4 dalam berbagai kesempatan juga menyampaikan untuk tidak mengikuti semua yang mereka katakan.

Imam Abu Hanifah mengatakan : “Inilah pendapatku. Inilah yang terbaik menurutku. Jika ada pendapat yang lebih baik dari ini, maka kami akan menerimanya”

Sementara Imam Syafi’I berujar : “Jika kalian mendapatkan hadits shahih yang berbeda dengan pendapatku, maka lempar saja pendapatku.”

Sedangkan Imam Ahmad mengatakan : “Jangan bertaqlid kepadaku, tidak juga kepada imam Syafi’I, Imam Malik atau Imam Hauri. Belajarlah sebagaimana kami belajar.”

Meskipun demikian sebagian ulama seperti Ibnu Abdil Barr, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim berpendapat, Taqlid dieprbolehkan dalam kondisi tertentu yang bersifat darurat, seperti keadaan dimana seseorang harus segera melakukan suatu ibadah sementara ia tidak mengetahui dalilnya, meskipun begitu pada dasarnya seseorang tetap dituntut untuk sadar dan tahu terhadap apa pun yang dia lakukan apalagi dalam hal ibadah.


Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” QS. Al Israa’ : 36

Wallahu A'lam Bisshawab
ditulis ulang dari rekaman Khazanah Ensiklopedi Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar