Antara Taqlid dan Ittiba’
Taqlid berasal dari bahasa Arab qalada, yang artinya menggantungkan
sesuatu di leher. Para ulama memberi definisi, taqlid adalah mengikuti pendapat
suatu mazhab tanpa mengetahui dasar dalil atau dalam ungkapan lain mengikuti
suatu perkataan, perbuatan tanpa mengetahui dalil yang dijadikan dasar.
Tradisi taqlid dalam sejarah umat Islam mulai berkembang pada akhir abad
ke-4 Hijriyah, setelah generasi imam mazhab yang 4 : Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hambali.
Diantara berkembangnya taqlid adalah karena
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap ulama pada masa itu. Karena
kecenderungan sebagian ulama untuk mendekati penguasa dan mengabdi pada kepentingan
penguasa dan kelompoknya, maka kewibawaan ulama pun meluntur, akhirnya umat mengabaikan
mereka. Umat lebih memilih untuk mengembalikan persoalan-persoalan fikih pada
pendapat para imam mazhab yang 4 daripada mengikuti ijtihad para ulama masa itu
yang cenderung banyak intervensi kepentingan dunia sehingga kebenaran menjadi
kabur. Bahkan ada ulama yang menfatwakan wajib untuk mengikuti salah satu
mazhab yang 4.
Para ulama juga membagi taqlid dalam 2 hal :
- Taqlid dalam pokok agama. Urusan pokok agama seperti yang berkaitan dengan ma’rifatullah atau pengetahuan tentang Allah, prinsip-prinsip aqidah, dalam hal ini tidak boleh mengikuti taqlid. Karena pengetahuan tentang Allah harus dating dari hati dan keyakinan.
- 2. Taqlid dalam masalah-masalah fiqih dan cabang. Taqlid dalam masalah ini tetap tidak boleh dilakukan. Taqlid seakan-akan orang yang diikuti adalah pemberi syari’at baru. Taqlid buta terhadap seorang imam atau tokoh akan rentan menyimpang dan tersesatkan.
Karena tidak ada manusia yang dijamin perkataan
dan perbuatannya 100 % kecuali Rasulullah S.A.W.
“Dan
mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari
jalan (yang benar).”
QS. Al Ahzab[33] : 61
Berbeda dengan taqlid. Ittiba’ adalah mengikuti
dengan dasar dan dalil yang benar sehingga orang yang ittiba’ paham betul kalau
yang dia ikuti ada dasar atau dalil yang benar, yang diikuti adalah hokum yang
Allah tetapkan, bukan hawa nafsu orang yang diikuti.
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).”
QS. Al A’raf : 3
Bermahzab atau mengikuti
pendapat seorang imam tidak serta merta disebut taqlid jika mengikutinya dengan
ilmu, maka ini adalah ittiba’, jika tanpa ilmu maka ini adalah taqlid. Walau
sama-sama mengikuti jelas ada perbedaan mendasar antara taqlid dan ittiba’.
Taqlid dilarang, Ittiba’ dianjurkan. Karena Taqlid itu buta, sedangkan ittiba’ adalah
melihat.
Taqlid buta terhadap pemimpin
dan pemuka agama menjadi salah satu yang
menyebabkan kesesatan dan penyimpangan
umat terdahulu, bahkan ketika pendeta dan rahib mereka menghalalkan apa yang
Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan, mereka juga
mengikutinya.
Para imam mazhab yang 4 dalam
berbagai kesempatan juga menyampaikan untuk tidak mengikuti semua yang mereka katakan.
Imam Abu Hanifah mengatakan : “Inilah
pendapatku. Inilah yang terbaik menurutku. Jika ada pendapat yang lebih baik
dari ini, maka kami akan menerimanya”
Sementara Imam Syafi’I berujar
: “Jika kalian mendapatkan hadits shahih yang berbeda dengan pendapatku, maka
lempar saja pendapatku.”
Sedangkan Imam Ahmad mengatakan
: “Jangan bertaqlid kepadaku, tidak juga kepada imam Syafi’I, Imam Malik atau
Imam Hauri. Belajarlah sebagaimana kami belajar.”
Meskipun demikian sebagian
ulama seperti Ibnu Abdil Barr, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim berpendapat, Taqlid
dieprbolehkan dalam kondisi tertentu yang bersifat darurat, seperti keadaan
dimana seseorang harus segera melakukan suatu ibadah sementara ia tidak
mengetahui dalilnya, meskipun begitu pada dasarnya seseorang tetap dituntut
untuk sadar dan tahu terhadap apa pun yang dia lakukan apalagi dalam hal ibadah.
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.”
QS. Al Israa’ : 36
Wallahu A'lam Bisshawab
ditulis ulang dari rekaman Khazanah Ensiklopedi Islam
ditulis ulang dari rekaman Khazanah Ensiklopedi Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar