Senin, 31 Desember 2012

Sedikit Demi Sedikit Lama-lama Menjadi Bukit

Pepatah ini sederhana saja, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Kita biasa memaknainya, bahwa bila kita mengumpulkan sesen demi sesen, pada saatnya kita akan mendapatkan sepundi. Namun sesungguhnya pepatah ini tak sekedar berbicara tentang hidup hemat, atau ketekunan menabung.
Pepatah ini menyiratkan tentang sesuatu yang lebih berharga dari sekedar sekantung keping uang, yaitu: bila kita mampu mengumpulkan kebaikan dalam setiap tindakan-tindakan kecil kita, maka kita akan dapati kebesaran dalam jiwa kita. 
Bagaimana tindakan-tindakan kecil itu mencerminkan kebesaran jiwa sang pemiliknya? Yaitu, bila disertai dengan secercah kasih sayang di dalamnya. Ucapan terimakasih, sesungging senyum, sapaan ramah, atau pelukan bersahabat, adalah tindakan yang mungkin sepele saja. Namun dalam liputan kasih sayang, ia jauh lebih tinggi daripada bukit tabungan anda.


Menyikapi Perayaan Tahun Baru


Tidak sedikit masyarakat yang begitu hebohnya mempersiapkan tahun baru, berbagai perayaan digelar untuk menyemarakkan pergantian tahun ini, dari kalangan bawah, menengah, hingga kalangan atas ramai menyambut tahun baru ini dengan berbagai hal yang telah menjadi tradisinya masing-masing. Tak sedikit pula umat muslim merayakan detik-detik pergantian tahun ini. 


Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Banyak ulama yang mengharamkan untuk ikut merayakan tahun baru Masehi namun hal ini tidak direspon oleh masyarakat Umat Muslim, dengan alasan seluruh dunia ikut merayakan tahun baru Masehi dan mreka bersikeras tidak ada sangkut pautnya dengan kaidah agama.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”.

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata: “Barangsiapa yang tinggal di negeri kaum musyrikin, melakukan hari raya niruz (tahun baru masehi persia) dan mahrojan, serta menyerupai mereka hingga dia meninggal, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat.”

Dari riwayat di atas tentu sudah sangat jelas, sebagai umat muslim kita tidak perlu ikut-ikutan merayakan tahun baru masehi, apalagi dengan hura-hura yang jelas hal tersebut bersifat mubadzir atau mudharatnya jauh lebih banyak dari  manfaatnya. Bahkan di Negara tertentu, tahun baru menjadi ajang untuk melepas keperawanan, naudzubillah min dzalik.
Memang tidak dapat kita pungkiri, di Indonesia sendiri juga lebih memakai kalender Masehi daripada kalender Hijriyah, meski demikian kita sebagai umat muslim seharusnya lebih meramaikan tahun baru Hijriyah dengan cara yang ma’ruf dan tidak berlebihan serta tidak perlu merayakan tahun baru masehi.
Hari Raya umat Muslim juga ada dua yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, dimana dalam hari raya tersebut umat Muslim dipersilahkan untuk bersenang-senang dan makan makanan enak sepuasnya.
Setelah mengetahui naik-nilai dan moral Islam, semestinya kita juga wajib menerapkannya pada diri sendiri dan menyampaikannya pada orang lain dengan cara yang sebaik-baiknya. Dan semoga para pemimpin di negeri ini juga bisa menerapkannya. 

Minggu, 23 Desember 2012

MUSH’AB BIN UMAIR


Mush’ab bin Umair adalah satu di antara sahabat Nabi s.a.w Dia seorang remaja Quraisy yang paling menonjol, paling tampan dan paling bersemangat.
Para penulis sejarah biasa menyebutnya sebagai “Pemuda Mekah yang menjadi sanjungan semua orang.”
Dia lahir dan dibesarkan dalam limpahan kenikmatan. Bisa jadi, tak seorangpun di antara anak muda Mekah yang dimanjakan kedua orang tuanya seperti yang didapatkan Mush’ab bin Umair.
Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, selalu dielu-elukan, dan bintang di setiap rapat dan pertemuan, akan berubah menjadi tokoh dalam sebuah cerita keimanan dan perjuangan demi membela Islam. . .?
Sungguh satu kisah penuh pesona… Kisah perjalanan Mush’ab bin Umair atau kaum muslimin biasa menyebutnya “Mush’ab Al-Khair(yang baik)”. . .
Dia adalah satu diantara orang-orang yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad saw.
Seperti apakah dia. . .?
Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggan seluruh umat manusia. Suatu hari, anak muda ini mendengar berita tentang Muhammad yang selama ini dikenal jujur… Berita yang juga mulai didengar oleh warga Mekah… Muhammad yang selama ini dikenal jujur itu (Al-Amin) menyatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita gembia dan pemberi peringatan. Mengajak umat manusia beribadah kepada Allah Yang Maha Esa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Mush’ab. Dengan sedikit strategi, dia berhasil mengecoh ibu dan para penjaganya. Ia berhasil lolos dari kurungan, lalu ikut hijrah ke Habasyah.
Dia tinggal disana bersama saudara-saudaranya sesame muhajirin. Lalu pulang ke Mekah. Kemudian ia pergi lagi hijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya bersama para sahabat atas titah Rasulullah saw.
Baik di Habasyah maupun di Mekah, keimanan Mush’ab semakin mantap. Dia menapaki pola hidup baru yang diajarkan oleh teladannya: Muhammad saw. Mush’ab sudah mantap kala seluruh kehidupannya akan diberikan hanya untuk Sang Pencipta Yang Maha Agung.
Pada suatu hari ia menghampiri kaum muslimin yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah saw. Melihat penampilan Mush’ab, mereka menundukkan pandangan, bahkan ada yang menangis. Mereka melihat Mush’ab memakai jubbah using yang bertambal-tambal. Padahal, masih segar dalam ingatan mereka bagaimana penampilannya sebelum masuk Islam. Pakaiannya ibarat bunga di taman, menebar aroma wewangian.
Adapun Rasulullah, beliau menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati. Kedua bibirnya tersenyum bahagia dan bersabda,
“Dahulu, tiada yang menandingi Mush’ab dalam mendapatkan kesenangan dari orang tuanya. Lalu semua itu ia tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Jumat, 14 Desember 2012

Mengenal Manusia (Ma'rifatul Insan)


1.1 Definisi (ta’rif) Insan

Manusia dapat didefinisikan sebagai makhluk Allah SWT yang terdiri dari ruh dan jasad yang dimuliakan Allah SWT dengan posisi sebagai khalifah di muka bumi dan bertugas untuk mengabdi kepada-Nya.


1.2 Hakekat Insan (Manusia) 

Manusia itu terdiri dari ruh dan jasad. Dan ruh yang hidup dalam daging dan tulang-belulang, ia memiliki nilai lebih besar daripada seluruh alam kebendaan. Meskipun ruh dan jiwa berkaitan dengan jasad yang berupa benda, namun adanya manusia adalah berkat adanya ruh. Dan ruh adalah asal dan sumber kepribadian manusia, seolah-olah seluruh alam wujud ini diciptakan Allah SWT untuk membentuk manusia agar dapat mengenal hakekat dirinya. 


Ruh manusia itu berasal dari alam arwah (alam yang hakikatnya tidak dapat diketahui oleh manusia di mana tempatnya), sedangkan jasmani berasal dari tanah. Setelah keduanya digabung menjadi satu, manusia dimasukkan ke alam yang ke dua yaitu alam rahim (alam kandungan). Setelah terlahir dari perut ibunya, manusia memasuki alam ke tiga yaitu alam dunia (alam fana). Di alam dunia ini manusia akan tinggal untuk sementara sesuai dengan jatah umur yang diberikan oleh Allah SWT.

أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنفُسِهِم مَّاخَلَقَ اللهُ السَّمَاواتِ وَاْلأَرْضَ وَمَابَيْنَهُمَآ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُّسَمَّى وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ بِلِقَآئِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ.

Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Rabbnya. (QS. Ar-Rum (30) : 8).

Kemudian setelah manusia mati, baik secara husnul khatimah maupun suul khatimah, ia akan memasuki alam ke empat, yaitu alam kubur (alam barzakh). Di alam ke empat ini manusia akan tinggal sampai tiba hari kiamat atau hari kebangkitan (yaumul ba’ts). Setelah dibangkitkan kembali, manusia akan memasuki alam yang ke lima yaitu padang Mahsyar. Dan di padang Mahsyar inilah semua manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya selama hidup di dunia.



Mengenal Rasul (Ma'rifatur Rasul)


1.1 Kebutuhan Manusia Terhadap Rasul (Hajatul Insaan ilarrasul)
Manusia sangat membutuhkan adanya seorang rasul yang diutus; karena secara fitrah, manusia selalu ingin tahu keberadaan sang pencipta, selalu menginginkan untuk dapat mengabdi secara benar kepada sang pencipta (Allah SWT), dan selalu menginginkan kehidupan yang teratur.

Untuk bisa mengetahui secara benar tentang keberadaan Allah, bagaimana cara melakukan pengabdian kepada-Nya, dan bagaimana bisa memahami aturan main hidup yang dibuat oleh Allah SWT sebagai pencipta yang akan menjadikan kehidupan manusia menjadi teratur, semuanya itu hanya bisa diperoleh melalui penjelasan atau petunjuk dari seorang rasul. Maka keberadaan seorang rasul menjadi sangat dibutuhkan oleh manusia.

Allah SWT berfirman,
قُل لِّمَنِ اْلأَرْضُ وَمَن فِيهَآ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ . قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ . قُلْ مَن بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلاَيُجَارُ عَلَيْهِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ . سَيقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ.
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah."Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah."Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab) -Nya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?"(QS. Al-Mukminun (23) : 84-89)

1.1.1 Makna Risalah dan Rasul
•Risalah: Sesuatu yang diwahyukan A11ah SWT berupa prinsip hidup, moral, ibadah, aqidah untuk mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat.

•Rasul: Seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah SWT yang berkewajiban untuk melaksanakannya dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada manusia.
وَمَآأَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ.
Allah SWT berfirman,
Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. Al-Anbiyaa` (21) : 7)

1.1.2 Tanda-tanda kerasulan Muhammad SAW
Di antara tanda-tanda kerasulan Muhammad SAW adalah :
1.Memiliki sifat yang asasi (shiddiq, komitmen atau amanah terhadap perintah, tabligh dan fathanah atau cerdas).
2.Memiliki mukjizat (kejadian luar biasa yang diberikan Allah SWT sebagai tanda kenabian atau kerasulannya yang tidak bisa dipelajari dan ditandingi, serta tidak berulang).
3.Berita kedatangannya sudah diberitahukan. (QS. Ash-Shaf (61) : 6)


1.1.3 Kedudukan Rasulullah SAW 
Untuk mengetahui kedudukan Rasulullah SAW, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu :

•Sebagai hamba Allah 
Rasulullah SAW, dilihat dari kehambaannya atau kemanusiawiannya tidak ada bedanya dengan manusia yang lainnya. Di dalam sejarah kita dapat mengenal nasabnya, sifat-sifat fisiknya, hari dan tanggal kelahirannya. Beliau juga makan, minum dan berkeluarga, yang mana semuanya itu dimiliki oleh semua hamba Allah SWT termasuk Rasulullah SAW.

Allah SWT berfirman,
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرِّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي اْلأَسْوَاقِ لَوْلآ أُنزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا.
Dan mereka berkata:"Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia. (QS.Al-Furqan (25) : 7)

MENGENAL AL-QURAN (MA'RIFATUL QUR'AN)


1.1 Al-Qur’an telah Ditinggalkan
Untuk bisa mencapai derajat orang yang bertakwa yang sesungguhnya, maka umat Islam, baik secara individu maupun kelompok dituntut harus senantiasa berinteraksi dengan Al-Qur’an, sebab ia akan selalu menunjukkan kepada jalan yang benar.

Interaksi yang dengan Al-Qur’an adalah salah satu ciri dari orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dikatakan oleh sebagian Ulama, bahwa esensi daripada takwa yang sesungguhnya adalah senantiasa berupaya untuk mengamalkan Al-Qur’an.

Namun apabila melihat fenomena yang berkembang di masyarakat, ternyata sebagian masyarakat, bahkan kitapun terkadang melakukannya, Al-Qur’an tidak lagi dijadikan sebagai sahabat dalam kesehariannya. Al-Qur’an tidak lagi dijadikan lagi sebagai teman untuk bercengkrama bersama, Al-Qur’an tidak lagi dijadikan obat kegalauan hatinya, padahal ia adalah sebagai kisah yang menyenangkan, sebagai sya’ir yang indah untuk dinikmati dan sekaligus sebagai acuan dalam hidup dan kehidupan, sebagaimana telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW beserta para sahabatnya.
Realita sebagian masyarakat ini, padahal mereka sebagai Muslim, adalah realita yang sangat menyedihkan dan menghawatirkan untuk masa depan umat ini, sekaligus menunjukkan bahwa mereka telah menjauhkan al-Qur’an dari kehidupannya. AlQur’an hanya dijadikan sebagai pajangan di lemari buku untuk melengkapi buku-buku yang lainnya, atau Al-Qur’an hanya dibuka seminggu sekali setiap malam jum’at, atau bahkan sebagian dari mereka dekat dengan Al-Qur’an hanya ketika ada yang meninggal. Dan masih banyak lagi realita yang lainnya yang menunjukkan bahwa al-Qur’an sudah benar-benar dijauhkan dari kehidupan mereka.

Rasulullah SAW pernah mengadukan keadaan sebagian umatnya yang meninggalkan Al-Qur’an sebagaimana disinyalir dalam firman Allah SWT,
وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا.
Berkatalah Rasul:"Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur'an ini sesuatu yang diacuhkan". (QS. Al-Furqan (25) : 30)

Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan kalimat mahjuran dalam ayat tersebut adalah matrukan (ditinggalkan).

Yang termasuk kategori meninggalkan Al-Qur’an sebagaimana ditegaskan dalam tafsir Ibnu Katsir adalah, tidak mau mendengarkan, tidak membacanya, tidak mau mentadaburi dan tidak mengamalkannya. Dengan demikian, maka interaksi dengan al-Qur’an yang sesungguhnya yang harus dilakukan oleh umat Islam adalah diawali dengan semangat untuk selalu mendengarkan ayat-ayat Allah, kemudian diikuti dengan upaya keras untuk meningkatkan interaksi tersebut dengan membaca, mentadaburi kemudian mengamalkannya.

1.2 Turunnya Al-Qur’an (Nuzulul Qur’an)
Allah SWT telah memuliakan umat Islam dengan menurunkan Al-Qur’an yang luar biasa, ia sebagai kitab penutup dari kitab-kitab samawi yang menjadi undang-undang kehidupan, pemecah segala persoalan, sebagai tanda keagungan dan keluhuran umat pilihan (khaira ummah) untuk bisa mengemban tugas risalah samawiyyah yang paling mulia, di mana Allah memuliakannya dengan bekal kitab yang mulia.

Mengenal Allah (Ma'rifatullah)


1.1 Urgensi Ma’rifatullah 
Ma'rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma'riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan-jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah SWT.

Menurut Ibn Al Qayyim : Ma'rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma'rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.

Rasulullah SAW merupakan figur teladan dalam ma'rifatullah, beliau adalah orang yang paling utama dalam mengenali Allah SWT. Sabda Nabi,“Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. (HR Al Bukahriy dan Muslim).
Hadits tersebut merupakan bentuk sanggahan beliau terhadap pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.

Figur berikutnya, adalah para ulama yang senantiasa mengamalkan ilmunya. Allah SWT berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَآبِّ وَاْلأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا إِنَّ اللهَ عَزِيزُُ غَفُورٌ.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir (35) : 28).

Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya. Melalui ma’rifatullah, manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah; para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.

Melalui ma'rifatullah manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh. Mereka akan mengenali perjalanan hidupnya, bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan alam kubur dan kehidupan akherat.
Ma’rifatullah akan membuahkan rasa takut seorang hamba kepada Allah SWT, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.

1.2 Dalil-dalil yang Menunjukkan Eksistensi Allah
Ada empat dalil atau bukti yang menunjukkan adanya Allah :
1.2.1 Dalil Fitrah (Kecenderungan Bertauhid) 
Sesungguhnya setiap makhluk telah diciptakan dalam keadaan beriman kepada Allah SWT dan fitrah, tidak akan menyimpang dari fitrahnya kecuali ada pengaruh dari luar yang mempengaruhinya. Sabda Rasulullah SAW,“Tidak lahir seorang anak kecuali atas fitrah, maka bapak ibunyalah yang membuat ia menjadi Nasrani atau Majusi atau Yahudi”

Mengenal Islam (Ma'rifatul Islam)


1.1 Definisi Islam 
1.1.1 Islam Menurut Bahasa (Etimologi)
Menurut etimologi, Islam berasal dari kata salima yang artinya selamat. Kemudian dari kata tersebut dibentuk menjadi kata aslama yang artinya meyelamatkan. Dan berarti juga tunduk, patuh dan taat.. kata aslama itulah menjadi kata Islam yang mengandung semua arti yang terkandung dalam kata dasarnya. Oleh sebab itu orang yang melakukakan aslama (masuk Islam) dinamakan Muslim. Berarti orang itu telah menyatakan diri untuk taat, menyerahkan diri dan patuh kepada Allah SWT.
Di dalam ayat al-Qur’an, ada beberapa kata yang secara umum makna dari kata-kata tersebut terkandung dalam lafazh Islam, diantaranya :

Islamul wajhi, secara lafazh artinya menundukan wajah
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ للهِ وَهُوَ مُحْسِنُُ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً.
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. An-Nisaa` (4) :125)

Istislam, secara lafazh artinya berserah diri
أَفَغَيْرَ دِينِ اللهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ.
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran (3) :83)


Salim atau salamah, secara lafazh berarti bersih
إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ.
“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”(QS. Asy-Syu’ara (26) :89)

Salaam, secara lafazh artinya selamat sejahtera.
وَإِذَا جَآءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِئَايَاتِنَا فَقُلْ سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِن بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأِنَّهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ.
“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah:"Salaamun-alaikum. Rabbmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am (6) :54)

Salmu, secara lafazh berarti damai.
فَلاَتَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ اْلأُعْلَوْنَ وَاللهُ مَعَكُمْ وَلَن يَّتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ.
“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah-(pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu. (QS. Muhammad.” (47) :35)


1.1.2 Islam Menurut Terminology (Istilah) 
Secara termonologi, Islam adalah :
اَلاِْنْقِيَادُ وَاْلاِمْتِثَالُ لِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كُلِّ مَا عُلِمَ وَاشْتُهِرَ أَنَّهُ مِنَ الدِّيْنِ.
Tunduk dan patuh untuk melaksanakan segala sesuatu yang dibawa oleh Nabi SAW yang diketahui dan terkenal bahwasannya itu merupakan syari’at Islam.

Dua Kalimat Syahadat (Syahadatain)


1.1 Makna Syahadat
Syahadat ini (syahadatain) disebut juga dengan syahadat tauhid, yang artinya adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwasannya Muhammad adalah Rosul Allah. Inilah kewajiban pertama seorang hamba terhadap Allah SWT sebagaimana disinyalir Rosuluuloh SAW dalam salahsatu sabdanya ketika ia mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman:
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى.
Maka hendaklah apa yang pertama kali engkau serukan kepadanya adalah mengesakan Allah Ta’ala. (HR. Bukhari)

1.1.1 Keutamaan Syahadat Tauhid 
Syahadat tauhid adalah landasan makna akidah Islam, dengan mengakuinya seseorang akan menjadi Muslim dan dengan mengingkarinya ia akan menjadi musyrik. Dengan syahadat ini pula jiwa, harta dan darah seseorang akan menjadi terlindungi dari kebolehan mengambil, dan menumpahkannya bagi kaum Muslimin sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا.
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, apabila mereka melakukan hal itu, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali apa yang menjadi haknya.(HR. Bukhari Muslim)

Dengan memahami hakikat syahadat tauhid dan mengamalkan segala kandungannya seseorang berhak untuk masuk surga. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ.
Barangsiapa yang bersaksi bahwasannya tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu adalah hamba dan Rosul-Nya, Isa itu adalah hamba dan Rosul-Nya, Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, kalimah-Nya yang diberikan kepada Maryam dan ruh daripada-Nya, surga itu hak dan neraka itu hak, niscaya Allah akan memasukannya kesurga sesuai dengan amal yang telah dilakukannya .(HR. Bukhari)

1.1.2 Syahadat Kebenaran 
Syahadat ini (syahadatain) disebut juga syahadat kebenaran berdasarkan firman Allah SWT:
وَلاَيَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلاَّ مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ.
Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa'at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka menyakini(nya). (QS. Az-Zukhruf (43) : 86)

Kamis, 13 Desember 2012

BILAL BIN RABAH - Muadzin Pertama dalam Islam

Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda' (putra wanita hitam).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meinggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.

Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Sholallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu'minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, 'Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh'afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung... , dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal-semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad ... (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ....“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad....”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan 'Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah2 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad..., Ahad..., Ahad..., Ahad....” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas1.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, "Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya."

Abu Bakar membalas, "Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya..."

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, "Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar."

Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, "Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah."

Setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu.. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan 'Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,

Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil

Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman.... Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah.... Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Sholallahu ‘alaihi wasallam.. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanyma saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati...(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan....)” Lalu, ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa' (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama 'sang pengumandang panggilan langit', Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka'bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka'bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka'bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Sholallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi" (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu.... Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi." Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, "Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini." Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, "Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka'bah."
Al-Hakam bin Abu al-'Ash berkata, "Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka'bah)."
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, "Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah."
Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, "Ahad..., Ahad... (Allah Maha Esa)."

Sesaat setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi" (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah), tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal tak sanggup mengumandangkan azan. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi" (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah), ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, "Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya."

Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah."

Bilal menyahut, "Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam wafat."

Abu Bakar menjawab, "Baiklah, aku mengabulkannya." Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus.

Lama Bilal tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya, "Ya Bilal, wa maa hadzal jafa'? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?"

Bilal pun bangun terperanjat, airmata rindunya seketika tak terbendung lagi. Segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi.

Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi, pada sang kekasih. Penduduk Madinah yang mengetahui kedatangannya, segera keluar dari rumah untuk menyambutnya. Ketika masuk waktunya sholat, beberapa Sahabat meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan. Akan tetapi Bilal terus menolak permintaan itu.

Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucunda Nabi, Hasan dan Husein. Kali ini mereka berdua yang meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan, "Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami."


Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi itu. “wahai cahaya mataku, wahai dua orang yang sangat dicintai Rasul, sesungguhnya wajib bagiku untuk memenuhi keinginan kalian. Sesungguhnya apabila semua penduduk bumi memintaku mengumandangkan adzan, aku tetap tak akan mau melalukannya. Akan tetapi, setiap permintaan kalian berdua, adalah keharusan bagiku untuk melaksanakannya.”

Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.

Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada era Nabi. Mulailah dia mengumandangkan adzan.

Saat lafadz "Allahu Akbar" dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali.

Ketika Bilal meneriakkan kata "Asyhadu an laa ilaha illallah", seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.

Dan saat Bilal mengumandangkan "Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah", Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi. Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya. Lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Setelah itu ia jatuh pingsan bersama banyak orang yang lain karena kerinduan mereka akan sosok Rasulullah SAW.

Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi. Dan tidak pernah disaksikan hari yang lebih banyak laki-laki dan wanita menangis daripada hari itu

Dan adzan itu, adzan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan pertama Bilal sekaligus adzan terakhirnya semenjak Nabi wafat. Dia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan. Sebab kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya dirinya derajatnya terangkat begitu tinggi.

Beberapa hari kemudian Bilal bin Rabah jatuh sakit. Saat menjelang kematiannya, istri Bilal menunggu di sampingnya dengan setia seraya berkata, "Oh, betapa sedihnya hati ini...."

Tapi, setiap istrinya berkata seperti itu, Bilal membuka matanya dan membalas, "Oh, betapa bahagianya hati ini.... " Lalu, sambil mengembuskan napas terakhirnya, Bilal berkata lirih,
"Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih...
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih...
Muhammad dan sahabat-sahabatnya"

MANIFESTASI "MALU" sebagai ETIKA ISLAM (Bagian Kedua)


Simpul kata dari note sebelumnya, senada dengan hadits Nabi "Jika tidak merasa malu, maka berbuatlah sesukamu!" Yang berarti, "Tanpa Malu engkau layak mendapatkan segala kerendahan."

Beberapa pertanyaan mengenai Note kali ini, sebelum kita akan membahasnya:
1. Seberapa jauhkah sifat Malu Nabi Agung kita, Nabi Muhammad saw.?
2. Malukah Anda atau sedang merasa Sungkan-kah Anda? Apa bedanya malu dan sungkan??
3. Bagaimana seharusnya sikap seorang muslimah ditengah kaum laki-laki?

  • SIFAT MALU NABI MUHAMMAD
dari Abu Sa'id Al-Khudri, tuturnya "Rasulullah saw. jauh lebih pemalu daripada gaids-gadis pingitan. Jika membenci sesuatu maka kita sudah mengetahuinya dari ekspresi wajah beliau" (H.R. Muslim)

Rasulullah selalu berpesan agar menjaga rasa malu dan menjadikannya sebagai ikon akhlak dalam Islam.

dari Anas r.a. Rasulullah bersabda "Tiap-tiap agama mempunyai etika, dan etika Islam adalah malu" (HR. Ibnu Majah)

Itulah hiasan rasa malu yang menghiasi ucapan dan perbuatan. Sampai-sampai Rasulullah menyanjungnya dengan sabda, "Tidak aad kekejian dama sesuatu kecuali ia akan memperburuknya; dan tidak ada rasa malu akan sesuatu kecuali ia akan memperindahnya" (HR. Tirmidzi dari Anas)

Diriwayatkan dari Aisyah r.a., tuturnya Nabi saw bersabda, "Malu adalah sebagian dari iman; dan iman letaknya di surga. Jika iman adalah laki-laki maka ia adalah laki-laki shaleh.
Perbuatan keji adalah sebagian dari kemaksiatan; kemaksiatan ada di neraka. Jika perbuatan keji adalah laki-laki yang berjalan dianatara manusia, maka dia adalah laki-laki yang berandalan." (Dilansir oleh al-Baihaqi dalam al-Asmaa' wa Ash-Shifaat)

>Apa yang dimaksud Malu Yang Sebenar-benarnya :
   Rasulullah bersabda, "Malulah kalian terhadap Allah dengan sebenar-benar rasa malu." Para Sahabat menukas, "Wahai Rasulullah, alhamdulillah kami sudah merasa malu."
   Rasulullah bersabda, "Bukan begitu. tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah jika kau jaga kepala beserta isinya dan perut beserta isinya, dan  hendaklah engkau mengingat-ingat kematian dan hari akhir.
dan barangsiapa menginginkan akherat maka ia akan meninggalkan hiasan dunia. Orang yang bisa melakukan semua itu maka ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar rasa malu"

  • BEDAKAN ANTARA MALU DAN SUNGKAN 
   Malu adalah akhlak terpuji, sedangkan Sungkan adalah penyakit kejiwaan yang menunjukkan lemahnya karakter akibat rasa malu dan takut yang berlebihan.

  Ada sebuah aforisme, "Rasa malu laki-laki yang tidak pada tempatnya adalah sebuah kelemahan"

   dari Imran tuturnya, rasulullah bersabda, "Malu itu baik seluruhnya."
   Kemudian, Basyir bin Ka'ab berkata, "dalam beberapa kitab atau hikmah, saya temukan bahwa di antara ekspresi malu adalah ketenangan dan kewibawaan karena Allah SWT. tetapi terkadang hal itu juga membuahkan kelemahan."

    Rasa malu bukanlah penghalang bagi wanita untuk menyuarakan kebenaran, mencari pengetahuan, atau untuk beramar ma'ruf nahyi munkar. Rasa malu tidak menghalangi Ummu Sulaim untuk belajar agama.

   Untuk rasa sungkan ini akan lebih banyak kita contohkan di Perempuan di Tengah Kaum Laki-laki.
  • PEREMPUAN DI TENGAH-TENGAH KAUM LAKI-LAKI
   Apakah seorang suami ridha saat sang istri mebiarkan tangan laki-laki menyentuhnya?

   Mengapa sang istri tersebut tidak menampiknya? 

   Inilah jawabannya : Sungkan!

    Tradisi masyarakat sekarang ini telah menghalalkan campur baur antara laki-laki dan perempuan. 
    Kebanyakan perempuan sudah tahu bahwa bersalaman dengan laki-laki non mahram adalah perbuatan makruh. Dengarlah riwayat Bukhari ini, "Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan perempuan lain selain perempuan yang dimilikinya (istrinya)"

   Lebih dari 1 perawi melansir bahwa Rasulullah bersabda, "Aku tidak pernah bersalaman dengan perempuan nonmahram"

   Kendati demikian, jika lelaki mengulurkan tangannya, banyak perempuan yang tanpa ragu-ragu langsung menyalaminya. Jika ditanya soal larangan agama, mereka akan menjawab, "Saya segan menampiknya."

   Banyak laki-laki yang ketika berbicara suka usil menggerak-gerakkan tangan tanpa kontrol. Dan menaruhnya dipundak orang yang diajaknya ngobrol tanpa peduli apakah lawan bicara itu perempuan atau laki-laki. Jika kebetulan perempuan, saat ia ditanya mengenai hal itu, ia hanya menjawab "Dia itu laki-laki dewasa seperti ayah saya."

   Rasa sungkan yang tidak pada tempatnya ini jelaslah bukan sikap malu, tapi itu adalah penyakit! Penyakit yang sebenarnya menghalangi perempuan untuk berteriak lantang di muka lelaki hidung belang yang mencoba memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan.

   Penyakit sungkanlah dan bukan rasa malu yang membuat perempuan tetap duduk meski diapit dua laki-laki di kursi bus, angkot atau kereta. Sebenarnya jika ia benar-benar memiliki rasa malu, ia akan bertukar tempat duduk dengan laki-laki yang duduk disebelah perempuan di kursi lain.

   Penyakit sungkanlah dan bukan rasa malu, yang menghalangi perempuan untuk berteriak lantang di muka laki-laki cabul yang suka berkata jorok atau mengeluarkan lawakan-lawakan cabul atau komentar porno.
Jika ia benar-benar memiliki rasa malu, maka ia akan membentak dan menegurnya sehingga laki-laki itu tidak akan macam-macam lagi mengulanginya.

   Penyakit sungkanlah dan bukan rasa malu, yang menjadikan perempuan sebagai bahan permainan dan bahan tertawaan kaum laki-laki. Mereka mempermainkan harga diri perempuan dan mengunyah nama baiknya di antara dua rahangnya kemudian meludahnya ke sisi tembok.

   Bunga Rampai Note ini, bahwa Malu adalah mahkota kewibawaan yang membuat orang-orang di sekeliling Anda menundukkan pandangan, menghormati Anda, menjaga omongannya di depan Anda, dengan penuh kesantunan dan kesopanan, serta memperbagus perilakunya didepan Anda dengan penuh hikmat dan penghormatan.

Kami(penulis) merumuskan aksi malu dalam 4 manifestasi sikap : Gerakan, Pandangan, Omongan, dan Pakaian.

dikutip dari buku "Manajemen Diri Muslimah " - Dr. Akram Ridha

MANIFESTASI "MALU" sebagai ETIKA ISLAM (Bagian Pertama)


Tahukah Anda darimana datangnya kekejian, kecabulan, dan penjarahan harta orang lain?

Tahukah Anda mengapa perempuan mau membuka beberapa bagian auratnya tanpa merasa sungkan-sungkan?

Tahukah Anda mengapa ketika para suami melihat pemandangan yang demikian tidak sedikitpun saraf kecemburuan bergerak?

Itulah jika rasa "malu" telah hilang!

A. Apa itu Malu???
1.Imam Nawawi menuturkan "Para Ulama mengatakan bahwa hakekat malu adalah sifat yang membangkitkan kehendak untuk meninggalkan kejelekan dan mencegah reduksi penunaian hak kepada setiap pemilik hak."
2.Abu Qasim Al-Junaid rahimahullah mengatakan "Malu adalah menyadari kesenangan-kesenangan (kenikmatan2) dan melihat kelalaian (kekurangan) yang pada akhirnya melahirkan sebuah keadaan yang disebut malu kepada Yang Memberi Nikmat"

Begitulah penuturan ulama mengenai definisi "Malu". Malu karena Iman adalah ekspresi malu sebagaimana dari Al-Junaid r.a. yaitu rasa yang membuat seorang mukmin urung melakukan maksiat karena perasaan serbasalah jikalau dilihat Allah swt.

Ali r.a. juga mengatakan, "Barangsiapa yang dibalut rasa malu maka orang-orang tidak akan melihat aibnya" (Dr.Abdul Latif, Al-Akhlaaq fi Al-Islam)

B. Malu Sebagian dari Iman
Rasulullah saw. secara khusus menyinggung malu dalam cabang-cabang keimanan.
"Iman itu ada 70 cabang, yang paling utama adalah ucapan Laa ilahaillallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanan, sedangkan malu adalah sebagian dari iman" (H.R. Muslim, dari Abu Hurairah)

Rasulullah saw. bersabda "Malu dan iman selalu bersanding. Jika yang satu hilang maka hilanglah yang lain"[1]

Mengapa Malu Bisa Disebut sebagai Bagian Dari Iman??
Karena, keduanya sama-sama menganjurkan kebaikan dan menghindarkan keburukan.
1. Iman mengnjurkan berbuat ta'at dan menghindarkan maksiat.
2. Sementara malu mampu mencegah kealpaan untuk bersyukur kepada yang memberi nikmat dan mencegah kelalaian menunaikan hak orang yang memiliki hak.
3. Malu juga mencegah berbuat atau berkata kotor demi menghindari celaan dan kecaman.

Disinilah malu kemudian dinobatkan sbg sesuatu yg baik; 
Basyir bin Ka'ab menuturkan "Telah tertuang dalam hikmah diantara buah rasa malu adalah kewibawaaan dan ketenangan."

Ini yang B A - H A - Y A !
Kebalikan dari rasa malu adalah Cabul. Cabul adalah kejorokan dan keberangasan dalam berbicara atau berbuat. Muslimah (yang benar-benar muslimah) tidak mungkin berbuat keji, berkata jorok, kasar ataupun berangas, karena semua itu adalah sifat2 ahli neraka.

Muslimah adalah ahli surga, insyaAllah, sehingga ia pun tidak bersifat cabul ataupun berangasan. Diibuktikan dalam penuturan Nabi SAW. "Malu adalah sebagian dari iman; iman bertempat di surga. Sementara itu, cabul adalah sebagian dari keberangasan; keberangasan bertempat di neraka."

C. Sumber Rasa Malu
Sumber rasa malu adalah Pengetahuan akan kekuasaan Allah, kebesaran Allah, kedekatan-Nya dengan hamba, dan Kemahatahuan-Nya akan kebohongan mata dan rahasia yang tersembunyi di dalam dada.
Hal ini adalah derajat keimanan tertinggi, bahkan sudah merupakan aktualisasi Ihsan, Apa itu Ihsan??! Simak terus yuuk

"Suatu hari, Nabi saw. berada di tengah-tengah kerumunan orang ketika tiba-tiba malaikat Jibril datang menghampiri beliau dan berkata, "Apa itu Ihsan?" Beliau menjawab "Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka ketahuilah Dia yang melihatmu"(HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a.)

D. Jika Anda Tidak Memiliki Rasa Malu..
Jika rasa malu telah hilang, semua pintu pun terbuka lebar-lebar, sebagaimana hadits riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Mas'ud, tuturnya Rasulullah saw.bersabda, "Sesungguhnya di antara hal yang dipahami manusia dari sabda nubuwah pertama adalah : JIKA TIDAK MERASA MALU, BERBUATLAH SESUKAMU!"

2 pengertian hadits ini adalah :
1. Sebagai bentuk gertakan dan ancaman yang mirip dengan firman Allah SWT :
"Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Fushilat[41]:40)
2. Sebagai informasi tentang kondisi orang yang tidak memiliki rasa malu sehingga ia pun berbuat semaunya, tanpa batas, tanpa kendali. Karena yg bisa mencegah dari segala kejelekan adalah Rasa Malu.


Sifat malu Nabi Muhammad seperti apa ya? ,
Apa sih bedanya Malu dan Sungkan?,
Sifat Malu Perempuan di Tengah-tengah Laki-laki,
dan Bersalaman dengan yang bukan muhrim apa sih hukumnya? Akan dibahas di Artikel Selanjutnya ;)


[1] H.R. Al-Hakim dari Ibnu Umar. Menurutnya hadits ini shahih menurut kriteria Al-Bukhari dan Muslim. Hal yangsama dilansir dan dinyatakan Al-Baihaqi di dalam Syu'ah Al-Iman. Sementara itu As-Syuyuti dalam Al-Jami' Al-Saghir menyatakannya sebagai dha'if.

resume of "Manajemen Diri Muslimah bagian 2"  -  Dr.Akram Ridha


Rabu, 12 Desember 2012

Ya Allah, Aku Jatuh Cinta


Ya Allah, aku jatuh cinta…


Pada mereka yang tak letih memikirkan umat. Tak pernah berada dalam keluangan waktu karena siang mereka adalah perjuangan dan malamnya perenungan. Hujatan dan cercaan menerpa, tapi senyum ketulusan tetap terkembang.

Aku jatuh cinta pada pengorbanan yang mereka berikan…Ketenangan yang bukan berarti diam, tapi proses berfikir matang untuk tegaknya dienMu.
Aku jatuh cinta pada pancaran bashirah mereka, yang bukan hanya karena hasil kecerdasan otak tapi karena dekatnya hati mereka kepadaMu

Ya Allah, aku jatuh cinta…
Pada mereka yang senantiasa menjadikan Engkau sebagai tujuan hidupnya. Bersedia menggadaikan apapun, berkorban segalanya hanya untuk menambah berat timbangan kebaikan ketika nanti di yaumul hisab.
Mereka yang tidak pernah khawatir terhadap hari esok karena qana’ah bahwa Engkau telah menjamin hidup orang yang berjuang di jalanNya.
Mereka yang mengabdikan dirinya untuk terus mendidik dan mendorong tumbuhnya jundi-jundi Islam penguat barisan da’wah.
Mereka yang penuh ketulusan membentuk, mengarahkan dan memberdayakan kami agar bisa terus berkontribusi dalam setiap amalan produktif

Ya Allah, aku jatuh cinta…
Pada mereka yang selalu berpeluh menghabiskan waktu mudanya dalam menyusun gerakan. Yang menjadikan syuro sebagai basis kekuatan dalam koordinasi. Aku jatuh cinta, pada ketulusan mereka untuk mengorbankan ambisi pribadi, waktu, umur, dan hidup hanya karena tugas mulia yang berat dan tidak berbalas segera.
Aku jatuh cinta karena kerendahan hati mereka yang tidak silau dengan atribut dunia.
Aku jatuh cinta pada semangat dan idealisme mereka, yang tidak larut dalam realitas tapi berusaha menyetir kenyataan sesuai dengan landasan yang Kau ajarkan

Ya Allah, aku jatuh cinta…
Pada semangat dan binar mata mereka. Yang tidak pernah pudar ketika ditunjukkan kebesaran kuasaMu. Yang binarnya berubah menjadi sendu ketika mengingat betapa keras siksamu.
Aku jatuh cinta pada tekad kuat dan sifat pembelajar yang mereka miliki. Keterbatasan fisik dan harta, tak membuat mereka melemparkan 1001 alasan ketidakhadiran.
Aku jatuh cinta pada kepolosan celoteh pertanyaan mereka. Bukan pertanyaan bernada pembenaran tapi pencarian kebenaran agar mereka bisa terus memperbaiki diri

Ya Allah, aku jatuh cinta…
Pada jalan yang telah Kau pertemukan aku dengan mereka. Sebuah jalan panjang yang tidak pernah mulus tapi berliku dan penuh duri.
Aku jatuh cinta pada limpahan nikmat yang Engkau berikan hanya pada mereka yang berada di jalan ini.
Aku jatuh cinta ketika kudapati mereka sebagai pemimpinku, pendidikku, teman seperjuanganku, dan binaanku yang selalu merangkul ku dengan penuh cinta. Aku begitu jatuh cinta pada jalan ini…dan semakin jatuh cinta ketika aku menyadari bahwa dengan keikhlasan, jalan ini dapat meringankan perhitungan dosaku di hari akhir nanti. Insya Allah…Amiin ya rabbal ‘aalamiin.


YA ALLAH... AKU JATUH CINTA

Ya Allah...
Aku telah jatuh cinta pada keagungan qadaMU
pada kemanisan qadarMU
pada kecantikan nur wajahMU
pada keluasan ampunanMU

Ya Allah...
Aku telah benamkan diri dalam kefanaan
sedang Engkaulah yang meneguhkan niatku dengan syariatMU
sedang Engkaulah yang menanamkan keyakinanku dengan hakikatMU
sedang Engkaulah yang menyampaikan tujuanku dengan ma'rifatMU

Ya Allah...
Kau telah penuhi hatiku dengan cintaMU
Kau telah basahi lisanku dengan dzikirMU
Kau telah tunjukkan sinar langkahku dengan thareqatMU

Duhai...
Bila saatnya tiba
Sang kekasih hanya dapat merindukan perjumpaan

Duhai...
Dimanakah tempat bila KAU tidak berada disisiku ?
Dimanakah langkah bila KAU tidak dalam pijakanku ?

Allah... Allah... Allah
Bila hatiku terlalu gelap dengan kema'siatan
Dalam kejaran bisikan syetan
Kumohon kau bukakan hijabMU
Celupkan diriku dalam lautan pintu taubatMU

Allah... Allah... Allah
Engkaulah yang Maha Hidup
Engkaulah yang Maha Abadi
Hidupkanlah hatiku yang mati
Suburkan padanya dengan mahabbahMU
Dalam keabadian cintaMU