Senin, 31 Desember 2012

Menyikapi Perayaan Tahun Baru


Tidak sedikit masyarakat yang begitu hebohnya mempersiapkan tahun baru, berbagai perayaan digelar untuk menyemarakkan pergantian tahun ini, dari kalangan bawah, menengah, hingga kalangan atas ramai menyambut tahun baru ini dengan berbagai hal yang telah menjadi tradisinya masing-masing. Tak sedikit pula umat muslim merayakan detik-detik pergantian tahun ini. 


Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Banyak ulama yang mengharamkan untuk ikut merayakan tahun baru Masehi namun hal ini tidak direspon oleh masyarakat Umat Muslim, dengan alasan seluruh dunia ikut merayakan tahun baru Masehi dan mreka bersikeras tidak ada sangkut pautnya dengan kaidah agama.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”.

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata: “Barangsiapa yang tinggal di negeri kaum musyrikin, melakukan hari raya niruz (tahun baru masehi persia) dan mahrojan, serta menyerupai mereka hingga dia meninggal, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat.”

Dari riwayat di atas tentu sudah sangat jelas, sebagai umat muslim kita tidak perlu ikut-ikutan merayakan tahun baru masehi, apalagi dengan hura-hura yang jelas hal tersebut bersifat mubadzir atau mudharatnya jauh lebih banyak dari  manfaatnya. Bahkan di Negara tertentu, tahun baru menjadi ajang untuk melepas keperawanan, naudzubillah min dzalik.
Memang tidak dapat kita pungkiri, di Indonesia sendiri juga lebih memakai kalender Masehi daripada kalender Hijriyah, meski demikian kita sebagai umat muslim seharusnya lebih meramaikan tahun baru Hijriyah dengan cara yang ma’ruf dan tidak berlebihan serta tidak perlu merayakan tahun baru masehi.
Hari Raya umat Muslim juga ada dua yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, dimana dalam hari raya tersebut umat Muslim dipersilahkan untuk bersenang-senang dan makan makanan enak sepuasnya.
Setelah mengetahui naik-nilai dan moral Islam, semestinya kita juga wajib menerapkannya pada diri sendiri dan menyampaikannya pada orang lain dengan cara yang sebaik-baiknya. Dan semoga para pemimpin di negeri ini juga bisa menerapkannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar