Minggu, 09 Desember 2012

RUHUL ISTIJABAH

Secara bahasa ruhul berarti ruh atau jiwa, dan istijabah berarti menjawab panggilan, sehingga Ruhul Istijabah bisa memiliki makna jiwa yang menjawab panggilan. Jiwa yang bersemangat menyambut panggilan da’wah menunjukkan adanya keseriusan (jiddiyah) karena keseriusan adalah salah satu ciri kader militan. Keimanan seseorang belum sempurna kecuali apabila mendengar panggilan Allah dan Rasul-Nya segera menyambut panggilan tersebut dengan senang hati dan penuh semangat, Al-Qur’an mengingatkan kita tentang hal itu “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasai antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”. (Q.S. AI-Anfal :24 ).
Para sahabat Rasul di saat menjelang perang Badar, ketika Rasul ingin mengetahui kesiapan mereka untuk perang menghadapi musyrikin Quraisy, mengingat tujuan awal mereka bukan untuk perang tetapi untuk menghadang kafilah dagang yang dipimpin oleh Abu Sufyan, namun kafilah itu berhasil meloloskan diri dari hadangan kaum muslimin, maka Rasul bermusyawarah dengan mereka tentang apa harus dilakukan.  Saat itu Miqdad bin Amr khawatir kalau ada di antara kaum Muslimin yang masih berfikir seribu kali untuk melakukan peperangan. Karena itu sebelum angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kata-katanya yang tegas dapat mengobarkan semangat juang dan bisa menjadi pendapat umum.
Tapi sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar Ash Shidiq sudah mulai bicara. Apa yang dikemukakan Abu Bakar sangat baik, Miqdad pun tenang. Kemudian Umar angkat bicara. Pendapatnya juga baik.
Setelah itu barulah Miqdad angkat bicara : “Wahai Rasulullah, jangan ragu! Laksanakanlah apa yang telah diberitahukan Allah kepadamu, kami tetap bersamamu. Demi Allah kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan Bani Israel kepada Nabi Musa, yaitu “Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami tetap duduk di sini”. Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, “Pergilah kamu ber-sama Rabbmu dan berperanglah, kami ikut berperang bersamamu”. Demi Allah Yang Mengutusmu membawa kebenaran, seandainya engkau mengajak kami menerjuni lautan lumpur, kami akan patuh. Kami berjuang bersamamu dengan gagah berani hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan kirimu, dibagian depan dan belakangmu, sampai Allah memberimu kemenangan.
 Setelah sahabat Muhajirin, sahabat Anshar yang diwakili oleh Sa’ad bin Mu’adz menyampaikan sikapnya: ”Ya Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan kami bersaksi bahwa apa yang kamu bawa adalah benar, atas dasar itu kami telah menyatakan janji untuk senantiasa taat dan setia kepadamu. Wahai Rasulullah lakukanlah apa yang kau kehendaki, kami tetap bersamamu.Tidak ada seorangpun diantara kami yang mundur dan kami tidak akan bersedih jika kamu menghadapkan kami dengan musuh esok hari. Kami akan tabah menghadapi peperangan dan tidak akan melarikan diri. Semoga Allah akan memperlihatkan kepada kamu apa yang sangat kamu inginkan dari kami. Marilah kita berangkat Ilahi.
Dalam riwayat lain, bahwa Saad bin Muadz berkata kepada Rasulullah, “Barang kali kamu khawatir jika kaum Anshar memandang bahwa mereka wajib menolongmu hanya di negeri mereka. Saya sebagai wakil kaum Anshar menyatakan, jalankan apa yang kau kehendaki, jalinlah persaudaraan dengan siapa saja yang kau kehendaki dan putuskanlah tali persaudaraan dengan siapa saja yang kau kehendaki. Ambillah harta benda kami sebanyak yang kau perlukan dan tinggalkanlah untuk kami seberapa saja yang kamu sukai, apa saja yang kau ambil dari kami itu tebih kami sukai daripada yang anda tinggalkan. Apapun yang kamu perintahkan maka kami akan mengikutinya, demi Allah jika kamu berangkat sampai ke Barkul Ghimad kami akan berangkat bersamamu, demi Allah seandainya kamu menghadapkan kami pada lautan kemudian kamu terjun ke dalamnya maka kamipun akan terjun ke dalamnya bersamamu. (Rakhikul Makhtum 285-286 ).
Hasan AI-Banna berkata da’wah pada tahap pembinaan (takwin) shufi disisi ruhiyah dan askari (kedisiplinan) dari sisi amaliyah (operasional), slogannya adalah amrun wa thoatun (perintah dan laksanakan ) tanpa ada rasa bimbang, ragu, komentar, dan rasa berat’. (Risalah Pergerakan 2).
Empat Aspek Ruhul Istijabah
1.   Istijabah Fikriyah (Menyambut dengan pikiran /dengan sadar).
Kader da’wah ketika mendapat tugas dari Murobbi, Pembina, maupun Qiyadah tidak hanya sekadar melaksanakan perintah dan tugas, tetapi ia sadar betul apa yang dikerjakannya adalah dalam rangka taat kepada Allah dan meraih ridho-Nya, bila dilakukan mendapat pahala dan bila tidak dilakukan dosa.
Karena itu para kader da’wah harus memahami, bahwa melaksanakan perintah dan tugas yang datang dari Murobbi, Pembina atau Qiyadah dalam rangka taat kepada Allah. karena Allah telah mewajibkan taat kepada pemimpin : “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta (taatilah) pemimpin kamu… ” (An-Nisaa:59).
Demi laksananya tugas secara maksimal maka seorang kader selalu memikirkan tentang bagaimana cara melaksanakan tugas dengan baik, maka ia harus memperhatikan waktu, cara dan sarana yang tepat sehingga pekerjaan dapat diselesaikan sesuai perintah, rencana, tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan.
Bahkan harus memiliki kemampuan memberikan saran, pendapat dan pandangannya demi terselenggaranya program dengan baik, seperti yang dilakukan oleh sahabat Habab bin AI Mundzir ketika mengusulkan tempat yang strategis untuk posisi pasukan kaum muslimin pada perang Badar.
Habab berkata, ”Wahai Rasulullah, apakah dalam memilih tempat ini anda menerima wahyu dari Allah sehingga tidak dapat diubah lagi, ataukah strategi perang? Tempat ini kupilih berdasarkan strategi perang”. Kemudian Habab berujar kembali, “Wahai Rasulullah tempat ini tidaklah strategis. Ajaklah pasukan pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat markas di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya, kemudian kita buat kubangan dan kita isi dengan air hingga penuh. Dengan demikian kita berperang dalam keadaan mempunyai persediaan air minum”. Rasulullah menjawab, “Pendapatmu sungguh baik”.
Begitu pula, pada saat pasukan koalisi, yang terdiri dari kaum Musyrikin, bangsa Yahudi dan orang-orang Munafik menyerang Madinah, Sahabat Salman Al-Farisi menyampaikan usulannya kepada Rasulullah yaitu menggali parit di sekeliling Mmadinah, kemudian Rasulullah menerima usulan tersebut dan menjadi strategi perang yang ditetapkannya sehingga perang itu diberi nama dengan perang Khandak (parit).
Pada perang Qodisiah, perang antara tentara pasukan Persia, yang terjadi di Irak pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Qoqo bin Amr terus berpikir untuk menaklukkan pasukan bergajah yang menjadi andalan pasukan Persia. Sampai akhirnya Qoqo mendapatkan sebuah ide, untuk membuat patung gajah, agar kuda-kuda milik kaum Muslimin terbiasa melihat gajah sehingga ketika kuda-kuda itu berhadapan dengan gajah-gajah yang sebenarnya, tidak takut menghadapinya. Ternyata ide Qoqo ini menghasilkan buah. Pada perang Qodisiah tentara kaum Muslimin berhasil menaklukan tentara Persia yang mengandalkan pasukan bergajahnya. Khalifah Umar bin khattab pernah berucap, “Tidak akan terkalahkan kaum muslimin selama di sana ada Qoqo bin Amr”.
Dalam surat Ar-Ra’d ayat 19 Allah mengingatkan kita akan keistimewaan orang-orang mengoptimalkan akal pikirannya: “Apakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb¬mu itu benar, sama dengan orang yang buta (tidak menggunakan akal pikirannya). Hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran”.

2. Istijabah Nafsiyah (Menyambut dengan perasaan/emosi).
Para aktivis dan kader da’wah bila mendapat perintah dan tugas, baik tarbawi, da’awi maupun tanzhimi harus menyambutnya dengan perasaan senang, gembira, bahagia dan bersemangat untuk melaksanakannya. Janganlah perintah dan tugas itu disambut dengan rasa berat, malas, enggan dan tidak bergairah. Apapun kondisi yang terjadi pada diri kita, baik dalam keadaan susah, berat maupun kekuatan ma’nawiyah tidak mendukung, apalagi dalam keadaan bergembira.
Bila datang panggilan da’wah kita tidak boleh menolaknya atau merasa enggan dan malas memenuhinya. Allah berfirman: ”Berangkatlah kamu dalam keadaan merasa ringgan ataupun ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(Q.S. At-Taubah :41).
Kemudian pada ayat yang lain Allah menjelaskan, ”Hai orang-orang yang beriman apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu ‘Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah’,  kamu merasa berat dan ingin di tempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia itu dibandingkan dengan kehidupan di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu “. (Q.S. At-Taubah:38-39).
Para kader yang dibina oleh Rasulullah ketika mendengar panggilan jihad mereka berlomba-lomba untuk memenuhinya dengan harapan mendapat kesempatan mati syahid di jalan Allah. Kelemahan fisik tidak menjadi alasan untuk tidak berangkat memenuhi panggilan jihad, bahkan bila mereka tidak dapat memenuhi panggilan jihad karena udzur, mereka menangis. “Dan tidak berdosa atas orang-orang yang apabila datang kepadamu sepaya kamu memberi mereka kendaraan. Lalu kamu berkata : ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu’. Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan”. (At-Taubah: 92).
Mereka begitu semangat dalam melaksanakan perintah da’wah, perintah tersebut dikerjakan dengan suka cita, riang, gembira serta bahagia, bila mereka dapat melakukannya dengan baik. Sebaliknya, mereka bersedih dan berduka cita bila tidak dapat menjalankan perintah walaupun disebabkan udzur.

3. Istijabah Maaliyah (Menyambut dengan harta).
Da’wah untuk menegakkan dinul Islam muka bumi adalah kerja besar bahkan tidak ada pekerjaan yang Iebih besar darinya. Kerja besar ini membutuhkan dana yang besar pula sebagaimana lazimnya proyek besar. Dalam proyek da’wah pendanaan ditanggung oleh para da’i sendiri.
Berkorban dengan harta dan jiwa sudah menjadi satu paket yang tidak boleh dipisahkan satu dari yang lainnya. Seperti apa yang Allah rmpaikan dalam Qur’an, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka… ” (At-Taubah : 111).
Kemudian ayat lain Allah menjelaskan, “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? Yaitu, kamu beriman pada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. ” (As-Shaff : 10- 11).
Kader da’wah tidak pelit dengan hartanya untuk pembiayaan berbagai kegiatan da’wah dalam da’wah para kader dan aktivis siap mengorbankan hartanya, jangan mengharapkan keuntungan materi serta harta benda dari da’wah. Khadijah isteri Rasulullah telah memberikan seluruh kekayaannya untuk kepentingan da’wah. Pada perang tabuk kaum muslimin berlomba-lomba menginfakkan hartanya dan bersodaqah.
Usman bin Affan sebelumnya telah menyiapkan kafilah dagang yang akan berangkat ke Syam berupa dua ratus onta lengkap dengan pelana serta barang-barang yang berada di atasnya, beserta dua ratus uqiyyah. Setelah mendengar pengumuman Rasulullah, Usman datang pada Rasul kemudian menshadaqahkan semua itu. Kemudian Usman menambah lagi seratus onta dengan pelana dan perlengkapannya. Kemudian beliau datang lagi membawa seribu dinar diletakkan di pangkuan Rasulullah. Rasulullah memperhatikan apa yang dishadaqahkan oleh Usman itu seraya berkata: “Apa yang diperbuat oleh Usman setelah ini, tidak akan membahayakannya”. Usman terus bershadaqah hingga jumlahnya mencapai sembilan ratus ekor onta dan seratus ekor kuda, belum termasuk uang.
Setelah Usman selesai memberikan shadaqah, giliran Abdur Rahman bin Auf datang membawa Dua ratus uqiyyah perak, tak lama setelah Abdur Rahman, datanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya yang jumlahnya Empat ribu dirham, sampai-sampai beliau tidak menyisakan hartanya untuk keluarganya kecuali Allah dan Rasulnya. Kemudian shahabat-shahabat yang lain berdatangan. Umar menyerahkan setengah hartanya. Al-Abbas datang menyerahkan hartanya yang cukup banyak. Thalhah, Sa’ad bin Ubadah, Muhammad bin Maslamah semuanya datang menyerahkan shadaqahnya. Tidak ketinggalan Ashim bin Adi datang menyerahkan sembilan puluh wasaq kurma. Kemudian diikuti sahabat yang lain mulai dari yang sedikit sampai yang banyak. Sampai ada di antara mereka yang berinfaq dengan segenggam atau dua genggam kurma, karena hanya itu yang mereka mampu lakukan. Kaum wanitapun menyerahkan berrbagai perhiasan yang yang mereka miliki, seperti gelang tangan, gelang kaki, anting-anting dan cincin. Tidak ada seorangpun yang kikir menahan hartanya kecuali orang-orang Munafq.
Allah berfirman : “Orang-orang Munafiq yang mencela orang-orang Mu’min yang memberi shadaqah dengan sukarela, dan merekapunv menghina orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dishadaqahkan sekedar kesanggupannya”. (At -Taubah :79)

4. Istijobah Harakiyah (Menyambut dengan aktivitas)
Aktivis da’wah adalah yang orang aktif dalam kegiatan da’wah, selalu hadir dalam kegiatan da’wah dan berusaha untuk berada di barisan orang-orang mengutamakan kerja daripada berbicara. Bahkan berupaya untuk berada di garda terdepan dalam mempertahankan dan membela Islam.
Perlu diingat, tugas da’wah yang diemban aktivis sangat banyak., lebih banyak dari waktu yang tersedia. Tugas antara lain, pertama: Kewajiban dalam Tarbiyah, tujuannya, agar kualitas dan dan mutu kader semakin baik. Kedua: Kewajiban dalam Da’wah, tujuannya, agar penyebaran da’wah semakin luas. Ketiga: Kewajiban yang sifatnya tanzhimiyah, bertujuan, agar amal jama’i stuktural semakin kokoh.
Bila kita pelajari siroh Nabawiyah dan siroh As-Salaf As-Shalih, kita bisa lihat, pola kehidupan mereka. Mereka lebih banyak bekerja untuk umat dibanding untuk diri dan keluarga mereka karena kesibukan yang begitu padat hampir tidak ada waktu untuk istirahat, bahkan tidak menyempatkan diri untuk istirahat. Para sahabat Rasul tidak pernah berhenti berjihad di jalan Allah, sebagian ahli sejarah mencatat sebanyak seratus kali peperangan selama sepuluh tahun Rasul di Madinah, baik yang dipimpin langsung oleh Rasul dan yang dipimpin oleh sahabatnya. Baik itu pertempuran besar maupun yangkecil, baik yang jadi maupun tidak jadi perang. Sehingga jika diambil rata, peperangan terjadi sebulan sekali, artinya mobilitas jihad sangat tinggi.
Begitu pula di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq. Peperangan dilakukan selama dua tahun tiga bulan sepuluh hari, belum lagi peperangan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid yang jumlahnya sebanyak dua puluh kali peperangan yang dilakukan terus menerus secara berkesinambungan.
Melihat kondisi saat ini, dimana tuntutan da’wah begitu besar, yang disertai ancaman global, tentu hal ini, menuntut kesungguhan, keseriusan serta mobilitas da’wah dan jihad yang tinggi, jika tidak maka kekuatan batil yang akan berkuasa di bumi ini. Dalam hal ini, Allah berfirman, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan, ikutilah agama orang tua Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam al-Qur’an ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung”. (AI-Hajj :76 ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar