Selasa, 14 Oktober 2014

Manifestasi Malu dari Para Muslimah yang Menjaga Pandangannya

Bismillah..
“Katakanlah kepada wanita beriman,
‘Hendaklah mereka menahan pandangannya...”
-QS. An-Nuur[24]:31-

Kita tentu bisa memahami mengapa Allah SWT memerintahkan kaum lelaki agar menahan pandangan dalam QS. An-Nur[24]: 30, “Katakanlah kepada laki-laki beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’”
Setiap orang pasti tahu apa yang bergejolak di dalam diri laki-laki ketika memandang perempuan.

Akan tetapi, apa makna menahan pandangan bagi perempuan? Apa sebenarnya hakekat perintah Allah kepada perempuan mukminat, “Katakanlah kepada perempuan beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya’” ?

Sama sebagaimana halnya perintah menahan pandangan bagi laki-laki, perintah menahan pandangan bagi perempuan berarti tidak berlama-lama memandang laki-laki dan segera mengalihkan pandangan dari mereka. Namun, khusus bagi kaum perempuan, menahan pandangan juga berarti tidak memelototi aurat perempuan lain. Juga tidak menjelalatkan mata kesana kemari dengan pandangan menggoda dan penuh sensual yang bisa membangkitkan gairah seksual di dada laki-laki.

Setiap perempuan terhormat tentu tidak akan membiarkan matanya menjelajah kemana-mana, menjebak jiwa-jiwa yang lemah, juga tidak akan membiarkan bahasa matanya disalah-artikan oleh orang yang terdapat penyakit di dalam hatinya.

Oleh karena itu Allah memerintahkan dengan lugas dan eksplisit, “Hendaklah mereka menahan pandangannya”


Dan puncak rasa malu justru terdapat pada mata-mata tertahan, yang begitu nyaris melihat lawan bicara, mata itu langsung kembali menahan pandangan penuh khusyuk dan malu.

Referensi : Manajemen Diri Muslimah (Dr.Akram Ridha)

Kharisma Nugrahandani Restuti

Senin, 13 Oktober 2014

Islam Tegak Dan Kuat Dengan Orang-Orang Bertekad Baja

Bismillah..
Saudara-saudaraku, para aktivis Islam. Ketahuilah, Islam kuat dan tegak dengan orang-orang bertekad baja, bukan dengan orang-orang murahan, orang-orang yang terbiasa hidup mewah dan foya-foya. Sungguh, Islam tidak mungkin kuat dengan orang-orang seperti itu. Islam kuat dan kokoh dengan orang-orang “besar” dan amanah besar yang tidak mampu dipikul langit dan bumi hanya bisa diemban dengan orang-orang besar.

Bagaimana Islam bisa tegak tanpa tekad seperti tekad Anas bin An-Nadr r.a.? Ia berkata, “Jika Allah mengizinkanku memerangi orang-orang musyrik, Dia akan melihat apa yang aku kerjakan.” Betul, Anas bin An-Nadhr punya kesempatan hadir di perang Uhud. Ia bertempur habis-habisan, hingga ditemukan 80 lebih luka saat ia meninggal. Tubuhnya dirobek-robek dan hanya bisa dikenali saudara perempuannya dengan melihat jari-jarinya. [1]

Bagaimana Islam dapat tegak dan berjaya kembali seperti dulu kala tanpa tekad seperti tekad Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. pada hari penumpasan orang-orang murtad? Kendati  berusia lanjut dan mudah menangis, ia berkata dengan tekad kuat, “Demi Allah, aku pasti memerangi orang-orang yang memisahkan shalat dengan zakat, kaena zakat itu hak harta. Demi Allah, andai mereka menolak membayar zakat unta dan kambing yang dulu mereka bayarkan kepada Rasulullah s.a.w., aku pasti memerangi mereka, karena mereka menolak membayar zakat tersebut.” [2]

Bagaimana Islam bisa kuat dan berjaya  tanpa tekad seperti tekad Mush’ab bin Umair r.a.? Tekad kuatnya membuat ia membuang masa remaja dan kehidupan serba “wah”, lalu beralih menjalani kehidupan keras, miskin dan penuh derita. Tekad kuatnya menjadi unsur paling penting keislaman sebagian besar penduduk Madinah.
Ketika ia memegang panji perang saat bertempur, tangan kanannya terpotong. Lalu ia memegang panji perang itu dengan tangan kirinya. Tangan kirinya juga terpotong tidak lama setelah itu, lalu ia memegang panji perang dengan kedua lengannya. Dalam kondisi seperti itu Mush’ab bin Umair diserang oleh Ibnu Qumi’ah dengan pedang hingga gugur sebagai syahid. Mush’ab bin Umair yang tadinya hidup mewah, hanya punya 1 baju untuk kafannya ketika ia meninggal dunia.

Bagaimana Islam dapat tegak dan berjaya seperti sedia kala tanpa tekad seperti tekad Shalahuddin Al-Ayyubi! Tekad besar membuatnya meninggalkan kehidupan mewah ala istana dan glamour serta lebih senang hidup di kemah, yang diombang-ambing kan angin di padang pasir bersama mujahidin.

Bagaimana Islam bisa kuat dan kembali berjaya seperti dulu kala tanpa tekad seperti tekad Umar  bin Abdul Aziz. Dengan tekad kuatnya, Allah ta’ala memperbaiki umat hanya dalam tempo waktu 2,5 tahun. Hingga dikatakan,”Pada masanya, serigala hidup rukun dengan kambing.” Hal ini bukan aneh dan mustahil, kecuali bagi orang-orang yang minim ilmu tentang Allah dan sunnatullah terhadap wali-walinya.

Karena begitu pentingnya tekad kuat dalam agama, Rasulullah s.a.w. berdoa, “Ya Allah, aku minta ketegaran dalam semua urusan dan tekad kuat berada di atas petunjuk.”
Ini untuk mendidik dan mentarbiyah kita—kaum Muslimin secara umum dan aktivis Islamsecara khusus.
Saya kagum dengan tekad kuat Waraqah bin Naufal. Ia berusia lanjut, tubuhnya lemah, tulangnya tidak kuat dan rambutnya beruban. Kendati demikian ia berkata kepada Rasulullah s.a.w. “Jika aku berada pada hari itu (hari engkau ditindas), aku pasti menolongmu mati-matian.” Lalu ia mendekatkan kepala Rasulullah dan menciumnya. Ia tua menurut usianya, tapi muda tekad dan semangatnya.

Tekad tinggi itu mendidih di hati para pemiliknya laksana air mendidih di periuk dan memotivasinya mengerjakan kerja-kerja besar setiap pagi dan petang, hingga ia berkata seperti yang dikatakan Imam Syafi’I, “Istirahatnya orang laki-laki (aktivis) itu satu bentuk kelalaian”.
Sebuah tekad yang kuat,
dapat mengubah sesuatu
yang mustahil menjadi rasional.
Dan teruslah maju ke depan,
 kendati banyak kendala dan rintangan.

[1] Diriwayatkan Al Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasai  dan Ahmad.
[2] Diriwayatkan Al-Bukhari dan Ahmad
- Dari buku Tausiyah untuk Aktivis Islam (Dr. Najih Ibrahim)

--

Kharisma Nugrahandani Restuti

Minggu, 12 Oktober 2014

Sifat Para Ulama Akherat

Bismillah..
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata :

Di antara sifat para ulama akherat adalah
mereka mengetahui bahwa dunia ini hina
sedangkan akherat adalah mulia.
Keduanya seperti kebutuhan pokok,
namun mereka lebih mementingkan akherat.
Perbuatan mereka tidak bertentangan dengan perkataannya,
Kecenderungan mereka hanya kepada
ilmu-ilmu yang bermanfaat di akherat
dan menjauhi ilmu-ilmu yang sedikit manfaatnya.

Diriwayatkan dari Syaqiq Al-Balkhi, bahwa dia pernah bertanya kepada Hatim (muridnya) :
“Sudah berapa lama engkau menyertaiku, lalu apa saja yang engkau peroleh dariku?”

Hatim menjawab : Ada 8 perkara : 
1.     Aku melihat manusia, ternyata setiap orang memiliki sesuatu yang dicintainya. Namun, jika ia telah dibawa ke kuburannya, ternyata ia harus berpisah dengan yang dicintainya. Maka aku jadikan kecintaanku adalah kebaikanku, agar kebaikan itu tetap menyertaiku.

2.    Aku melihat Allah berfirman dalam kitab-Nya: “… dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu.” (QS. An Nazi’at [79] : 40). Maka aku berusaha untuk mengenyahkan hawa nafsu sehingga diriku menjadi tenang karena taat kepada Allah.

3.    Aku juga melihat bahwa setiap orang memiliki sesuatu yang bernilai dalam pandangannya, lalu ia pun menjaganya. Kemudian aku perhatikan firman Allah : “Apa yang ada di sisi kalian akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah akan kekal.” (Q.S. An Nahl [16]: 96). Maka setiap kali aku memiliki sesuatu yang berharga, aku segera menyerahkannya kepada Allah agar ia kekal di sisi-Nya.

4.    Kulihat banyak orang kembali kepada harta, keturunan dan kemuliaan serta kedudukan. Padahal semuanya ini tidak ada nilainya apa-apa. Lalu kuperhatikan firman Allah: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al Hujurat [49]: 13). Karena itu aku selalu beramal dalam lingkup ketakwaan, agar aku menjadi mulia di sisi-Nya


5.    Kulihat manusia sering iri dan dengki, lalu kuamati firman Allah : “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan mereka.” (QS. Az-Zukhruf[43]: 32). Karena itu kutinggalkan sifat dengki dan iri.

6.    Kulihat mereka saling bermusuhan, lalu kuamati firman Allah : “Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh kalian.” (QS. Fathir[35]: 6). Karena itu aku tidak mau bermusuhan dengan merka dan hanya setanlah yang aku jadikan sebagai musuhku.

7.    Aku melihat mereka berjuang habis-habisan untuk mencari rizki. Lalu kuamati firman Allah : “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allahlah yang memberi rizkinya.” (Q.S. Hud[11]: 6). Karena itu aku menyibukkan diriku dalam perkara yang memang menjadi kewajibanku dan kutinggalkan sesuatu meskipun memberikan keuntungan kepadaku.

8.    Kuamati mereka megandalkan oerdagangan, usaha dan kesehatan badan mereka. Tapi aku mengandalkan Allah dengan bertawakal kepada-Nya.



Kemudian Ibnu Qudamah berkata lagi :
“Diantara sifat ulama akherat adalah mereka membatasi diri untuk tidak terlalu dekat dengan para penguasa dan bersikap waspada jika bergaul dengan mereka.”

“Diantara sifat para ulama akherat adalah mereka lebih bayak mengkaji ilmu tentang amal yang berkaitan dengan hal-hal yang membuat amal-amal itu menjadi rusak, mengeruhkan hati dan menimbulkan keguncangan.
Sebab gambaran amal-amal itu dekat dan mudah, tapi yang paling sulit adalah membuatnya bersih.
Sementara dasar agama adalah menjaga diri dari keburukan. Bagaimana mungkin seseorang menjaga amal jika ia tidak mengerti apa yang harus dijaganya”

“Diantara sifat para ulama akherat adalah mereka mengkaji rahasia-rahasia amal syar’iyah dan mengamati hukum-hukumnnya. Sifat mereka lainnya adalah mengikuti shahabat dan para tabi’in yang terpilih serta menjaga diri dari perkara-perkara bid’ah”

Mukhtasar Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah: 21-23
Mizanul Muslim

Rabu, 08 Oktober 2014

Karena Kita Hidup Tak Sendiri, Sejauh Mana Kepekaan Kita?


Memiliki kepekaan merupakan poin penting yang harus dimiliki oleh setiap manusia, karena manusia tidak hidup sendiri. Dengan menumbuhkan kepekaan, kita akan berusaha melihat dari sisi yang lain, berusaha memahami pikiran orang lain, agar kita tahu apakah orang lain merasa nyaman ataukah tidak dengan kehadiran kita, atau setidaknya agar orang lain tidak terganggu dengan keberadaan kita, dan akan jauh lebih baik jika kita bisa membantu orang lain, sehingga orang lain bisa mendapatkan manfaat dari diri kita.

Kepekaan seperti ini juga sering disebut sebagai rasa empati, perasaan yang harus dimiliki oleh setiap manusia. karena manusia adalah makhluk sosial, maka dari rasa empati inilah nilai kemanusiaan itu tumbuh.

Menumbuhkan kepekaan harus dibiasakan sejak seseorang menginjak usia dini, ketika mereka mulai dapat belajar dan memahami sesuatu dengan inderanya. Kepekaan adalah persoalan etika, dan lingkungan sangat mempengaruhi tumbuhnya kepekaan seseorang terhadap orang lain ataupun terhadap lingkungannya.

Kepekaan dapat diaplikasikan dari hal-hal kecil disekitar kita, namun dampaknya bisa saja sangat besar dan memiliki pengaruh yang lebih luas bagi lingkungan dan masyarakat. Banyak orang yang justru melalaikan hal-hal yang dianggap kecil / remeh, tanpa mereka sadari banyak orang yang merasa terganggu atas hal yang dianggap kecil / remeh tersebut. Seperti yang telah disebutkan tadi, pentingnya memiliki kepekaan agar setidaknya orang lain tidak merasa terganggu atas keberadaan kita.

Lebih-lebih jika kita hidup bersama-sama dengan orang lain, dalam lingkungan bertetangga, kos, asrama, atau tempat lainnya. Bahkan di lingkungan keluarga pun sangat perlu menumbuhkan kepekaan ini.

Di lingkungan keluarga misalkan, sebagai seorang anak memiliki kewajiban untuk membantu orang tuanya, membantu meringankan perkerjaan orang tua dalam mengurusi urusan rumah tangga seperti menyapu, mencuci, dsb. Namun banyak anak yang tidak peka ketika melihat ibunya menyapu lantai, tapi si anak malah justru asik menonton televisi. Atau ketika melihat piring-piring kotor menumpuk di wastafel pencucian piring, bukannya membantu mencuci, malah justru menambah piring-piring kotor semakin menumpuk. Atau jika memiliki pembantu di rumah, terkadang si anak berdalih, “kan ada pembantu yang mencucinya”, padahal pembantu sudah seharian mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lainnya seperti mencuci pakaian, mengepel, menyapu, memasak dan lain sebagainya.

Di lingkungan kos / asrama misalkan, seseorang menyetel musik keras-keras sehingga mengganggu tetangga kamarnya. atau seseorang membiarkan sampah menumpuk terlalu lama sehingga baunya menyengat dan tercium oleh orang lain. Hal ini tentu sangat mengganggu orang-orang yang ada disekitarnya. Seseorang yang memiliki kepekaan, ia akan segera membersihkan piring-piring kotor yang ia pakai dan tidak membiarkan orang lain merasa terganggu karena melihat piring-piring kotor bertumpuk, apalagi jika piring-piring tersebut dipakai bersama-sama, jangan sampai ketika orang lain ingin menggunakan piring atau sendok namun semuanya belum dicuci karena kotor kita pakai.

Seseorang yang memiliki kepekaan, ia akan segera meminta sapu dari ibunya ketika sang ibu sedang menyapu lantai, membiarkan sang ibu beristirahat dan sang anak melanjutkan pekerjaan menyapu tersebut.

Seseorang yang memiliki kepekaan, ia tidak akan membuang sampah sembarangan atau menambah-nambahi daftar pekerjaan petugas kebersihan yang akan memunguti / menyapu sampah yang kita buang secara sembarang tersebut.

Seseorang yang memiliki kepekaan, ia tidak akan membiarkan sampahnya menumpuk penuh terlalu lama sehingga menimbulkan bau tidak sedap yang akan tercium juga oleh orang lain. Ia akan segera membuangnya agar tetap bersih dan tidak bau.

Seseorang yang memiliki kepekaan, ia akan segera membersihkan dan merapikan kamarnya yang kotor atau berantakan, agar diri sendiri dan orang lain merasa nyaman ketika berada di kamar kita.

Seseorang yang memiliki kepekaan, ia tidak akan membiarkan orang lain menunggu diri kita. dan akan menepati janji sesuai waktu dan kadarnya.

Seseorang yang memiliki kepekaan, ia akan segera berhenti berbicara ketika pembicaraannya terlalu membosankan bagi lawan bicaranya, atau ia akan memahami dari mimik muka lawan bicaranya jika lawan bicaranya sedang terburu-buru untuk pergi, sehingga ia akan segera menghentikan pembicaraannya.

Seseorang yang memiliki kepekaan, jika ia melihat benda menyakitkan di jalan seperti batu atau ranting yang berpotensi menyakiti manusia, ia akan segera menyingkirkan benda tersebut agar tidak menyakiti orang lain. Hal ini di dalam agama Islam juga termasuk bagian dari cabang keimanan. 

Masih banyak lagi contoh-contoh kepekaan ataupun sikap empati lainnya. Ketidak-pekaan bisa menjadi suatu kezaliman terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, namun banyak orang yang tidak menyadarinya dan meyepelekan hal ini. Padahal sesepele apapun perbuatan yang berpeluang memberi manfaat atau menyakiti orang lain, pasti akan dicatat dalam daftar amalan umat manusia dan akan dihisap pada waktunya nanti hingga mendapatkan balasan dari-Nya.

Nah, jika kita berhadapan dengan orang-orang yang minim kepekaan, maka tindakan pertama yang harus kita lakukan adalah JANGAN MARAH! Hadapilah ketidak-pekaan dengan kepekaan! Karena jika kita merasa marah dan jengkel atas perbuatan orang lain,  kita juga termasuk orang-orang yang tidak peka. Bersabarlah, karena setiap kejadian apapun pasti terkandung hikmah di dalamnya. Jadikan setiap keburukan yang dilakukan orang lain menjadi ladang amal shaleh untuk kita.

Misalnya ketika kita melihat piring-piring kotor di wastafel pencucian piring padahal bukan kita yang memakainya, maka akan menjadi kesempatan beramal shaleh bagi kita jika kita mau mencucinya. Luruskan niat juga, ikhlas. Jangan sampai kita berharap-harap agar perbuatan kita dilihat oleh orang lain (terlebih si pemakai piring kotor), atau jangan sampai pula kita mencucikan piring bekas pakai orang lain tapi kita masih menggerutu.

Jika ingin menasehati, pikirkanlah cara terbaik untuk menasehati, jangan sampai menyinggung perasaan orang lain yang dinasehati. Misalkan jika ada orang yang membuang sampah sembarangan, jangan lantas kita marah-marahi di tempat, apalagi jika di tempat tersebut banyak orang, ia akan merasa malu. Nasehatilah dengan pelan dan penuh kelembutan, agar si pembuang sampah sembarangan ini mudah menerima nasehat tersebut dan tidak merasa sakit hati.

Jagalah kepekaan dan rasa empati ini agar tetap ada di dalam hati kita. Rasa peka dan empati juga perlu pengontrolan, karena merupakan amalan yang bersifat kontinu, dan ajarkanlah pada anak-anak kita agar mereka mengerti pentingnya kepekaan terhadap orang lain dan alam terutama di lingkungan sekitar. Think globally, act locally.

In Syaa Allah kebaikan kecil ini akan menjadi sangat besar nilainya di mata Allah, jika kita melakukannya dengan penuh keikhlasan dan dengan cara yang baik.

Semoga bermanfaat.
Kharisma Arby

Bandung, 7 Oct 2014


Selasa, 30 September 2014

Keutamaan Puasa Arafah

Puasa Arafah sangat dianjurkan bagi mereka yang tidak pergi haji, sebagaimana riwayat dari Rasulullah saw. bahwa dia berkata tentang puasa Arafah:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهَا وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهَا 
Berpuasa pada hari Arafah aku mengharap Allah menghapus dosa-dosa pada tahun lalu dan
dosa-dosa pada tahun yang akan datang." 
[H.R. Muslim (116)] 

Banyak orang yang melalaikan hari yang besar ini, padahal para ulama berpendapat bahwa dia lebih utama dari hari-hari dalam setahun secara mutlak, bahkan termasuk pada hari Arafah.  Ibnu Qoyyim –rahimahullah- berkata: “ Sebaik-baik hari disisi Allah adalah hari Nahr (hari raya qurban), dia adalah hari haji Akbar “, sebagaimana terdapat dalam sunan Abu Daud, Rasulullah saw.  bersabda:
“Sesungguh-nya hari-hari yang paling mulia disisi Allah adalah hari Nahr, kemudian hari qar”

hari Qar adalah hari menetap di Mina, yaitu tanggal 11 Dzul Hijjah. Ada juga yang mengatakan bahwa hari Arafah lebih mulia dari hari Nahr, karena puasa pada hari itu menghapus dosa dua tahun, dan tidak ada hari yang lebih banyak Allah bebaskan orang dari neraka kecuali hari Arafah, dan karena pada hari tersebut Allah mendekat kepada hamba-Nya, kemudian Dia membanggakan kepada malaikat-Nya terhadap orang-orang yang sedang wukuf.
hendaklah setiap muslim baik yang melaksanakan haji atau tidak berupaya sungguh-sungguh untuk mendapatkan keutamaan hari tersebut dan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya.

Hendaklah setiap muslim berupaya untuk menyambut musim kebaikan ini secara umum dengan  taubatan nasuha (taubat sungguh-sungguh), meninggalkan dosa dan kemaksiatan, karena dosa-dosalah yang mencegah dari manusia karunia rabb-Nya, dan menutup hatinya dari Tuhannya. Begitu juga dituntut untuk menyambut musim ini dengan tekad yang kuat dan sungguh-sungguh untuk mendapatkan keuntungan atas apa yang Allah ridhoi.


فضل عشر ذي الحجة أحكام الأضحية وعيد الأضحى المبارك  (باللغة الإندونيسية)



Keutamaan Orang Kaya Yang Bersyukur


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata:
جاء الفقراء إلى النبي فقالوا: يا رسول الله، ذهب أهل الدثور من الأموال بالدرجارت العلا والنعيم المقيم، يصلون كما نصلي، ويصومون كما نصوم، ولهم فضل من أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون، وليست لنا أموال…وفي رواية مسلم: فقال رسول الله في آخر الحديث: “ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء” (متفق عليه).
Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah datang menemui beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi (di sisi Allah Ta’ala) dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta…“.
Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah kerunia (dari) Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya1.
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang kaya yang memanfaatkan kekayaannya untuk meraih takwa kepada Allah Ta’ala, dengan menginfakkan hartanya di jalan yang diridhai-Nya.
Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Ta’ala) pada (harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya”2.
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Mensyukuri nikmat harta yang Allah Ta’ala berikan kepada kita adalah dengan mengakui dan meyakini dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah Ta’ala semata, menyebut-nyebut dan menampakkan nikmat tersebut secara lahir, serta menggunakannya di jalan yang diridhai-Nya3.
- Allah Ta’ala memuji orang-orang yang memiliki harta tapi tidak membuat mereka lalai dari mengingat Allah Ta’ala dan beribadah kepada-Nya, dalam firman-Nya,
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ}
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS an-Nuur:37).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah Ta’ala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah Ta’ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi”4.
- Imam al-Qurthubi berkata, “Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka ketika tiba waktu shalat fardhu hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Ta’ala) dalam ayat (di atas) ini”5.
- Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi berkata, “Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Barapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, demikian pula (sahabat Nabi Ta’ala) ‘Utsman (bin ‘Affan) radhiyallahu ‘anhu dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”6.
- Penting untuk diingatkan di sini bahwa mencintai harta dan kedudukan dunia secara berlebihan merupakan fitnah yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam jurang kebinasaan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»
Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”.
Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS at-Tagaabun:15)7.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 28 Muharram 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA